Pencitraan Politik Jangan Penuh Drama

Jakarta, era.id – Indonesia memasuki tahun politik. Pilkada akan digelar di 171 daerah tingkat kabupaten/kota, dan provinsi, serta pendaftaran calon presiden-wakil presiden juga akan dimulai tahun ini. Banyak figur akan berbenah diri, membentuk citra positif untuk tampil dalam panggung pemilihan.

Strategi politik akan dimatangkan, kampanye siap digaungkan, para calon pemimpin atau wakil rakyat mulai membangun citranya.

Menurut psikolog Tika Bisono, kecenderungan calon pemimpin membangun citra adalah bagian dari upaya mencuri perhatian publik. Dalam ilmu psikologi, kata Tika, di antaranya sesuai dengan psikologi branding, psikologi iklan, psikologi massa, psikologi ruang maya, psikologi politik dan kebijakan publik.

Tika mengatakan, citra memang penting dalam sebuah kontestasi politik, namun, jangan sampai citra dibangun dengan penuh drama atau bahkan mengubah kepribadian.

Dalam penampilan, seseorang yang tengah membangun citranya dapat terlihat dari cara berpakaian, gaya bicara, hingga gesturnya.

Branding memang penting untuk mencuri perhatian, tapi kan kalau mau menargetkan ke anak muda dan katanya tim PR (public relation) harus mengubah penampilan, nanti dulu. Penampilan seperti apa yang tidak membuat kehebohan, yang tidak mengubah kepribadiannya, justru harus mengokohkan kepribadian seseorang yang seperti apa, jangan meniru,” ujar Tika, kepada era.id, Sabtu (10/2/2018).

Menurut Tika, ketimbang fokus membangun citra diri, calon pemimpin lebih baik membangun branding visi. Sebab, Tika melanjutkan, publik lebih menyukai tawaran visi daripada pencitraan diri.

“Kalau cuma sampai pada branding, itu enggak cukup, yang digemari orang-orang itu justru vision branding. Visinya yang di-branding,” ungkapnya.

Tika menekankan, ada kecenderungan kurang percaya diri jika calon pemimpin berlebihan membangun citranya. Citra yang dibentuk jauh dari kepribadiannya, karakternya, bahkan jauh di atas kompetensinya. Akan lebih mengkhawatirkan jika proses membangun citra dilakukan dengan penuh drama, atau cara tidak fair semisal menjatuhkan orang lain.

“Jangan sampai terjadi seperti itu (memakai cara-cara tak terpuji). Kalau seperti itu terjadi, ada pemimpin-pemimpin dengan moralitas dan mentalitas yang buruk. EQ harus lebih berperan daripada IQ. IQ tinggi boleh, EQ jongkok jadi pemimpin bisa runyam. Jadi lebih baik IQ biasa-biasa aja, tapi EQ tinggi,” ujar dia.

Tag: pilpres 2019 pilkada 2018