Prediksi Resesi di ASEAN dan Dampaknya di Indonesia
ERA.id - Pandemi COVID-19 berkepanjangan diprediksi bakal menghantam sektor ekonomi secara global. Sejumlah negara di Asia dan Eropa sudah mulai masuk dalam ke 'jurang' resesi. Meski beberapa negara seperti Singapura sudah mulai resesi, China malah belum mengalami resesi.
Padahal China adalah negara asal COVID-19 yang sempat mengacaukan rantai pasokan global (global supply chain). Sekaligus negara pengekspor terbesar di dunia dan pengimpor terbesar kedua di dunia.
"Sedemikian hebatnya China dalam perdagangan dunia, namun peranan ekspor dan impor dalam PDB-nya relatif sangat kecil, ujar ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri seperti dikutip dari blog pribadinya faisalbasri.com, Minggu (19/7/2020).
Peranan ekspor, kata Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu, hanya menyumbang 18,4 persen dalam perekonomian China, atau hampir persis dengan Indonesia. Sementara, peranan impor menyumbang 17,3 persen.
"Yang membedakan kondisi ekonomi Indonesia dan China adalah ekspor netto China masih positif, sedangkan ekspor netto Indonesia negatif alias porsi impor lebih tinggi dari porsi ekspor," kata Faisal.
Sementara saat ini,Singapura, ekonominya sudah memasuki tahap resesi karena dua triwulan berturut-turut mengalami kontraksi alias pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negatif. Pada triwulan kedua 2020 pertumbuhan PDB Singapura merosot hingga 41,2 persen dibandingakan triwulan I-2020.
Faisal mengatakan sektor konstruksi yang menjadi andalan Singapura praktis tak bergerak karena menciut 95,6 persen. Jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu, kemerosotan ekonomi Singapura hanya 12,6 persen. Walaupun lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan quarter-to quarter, kemerosotan dua digit itu dinilai mencerminkan kemerosotan yang cukup dalam.
Hal ini diperparah oleh tekanan dari ekspor impor di Singapura. Faisal mengatakan, peranan ekspor barang dan jasa dalam PDB di Singapura sangat tinggi, yaitu 174 persen. Jumlah tersebut bahkan juah lebih tinggi dari PDB. Di sisi lain porsi impor dalam PDB lebih rendah yaitu 146 persen.
"Jadi efek nettonya negatif terhadap pertumbuhan," kata Faisal.
Tak hanya Singapura, beberapa negara di ASEAN lainnya bahkan lebih terpukul ketimbang Indonesia. Malaysia dan Thailand, misalnya, diprediksi mengalami kontraksi karena peranan perdagangan luar negerinya relatif tinggi dan jauh lebih tinggi dari Indonesia tetapi jauh lebih rendah dari Singapura.
Faisal mengatakan, peranan ekspor dan impor di Malaysia masing-masing 65 peren dan 58 persen, sedangkan di Thailand 60 persen dan 51 persen. Sementara Vietnam, meskipun peranan ekspor dan impornya di atas 100 persen, diperkirakan terhindar dari resesi atau masih bisa tumbuh positif karena ditopang oleh investasi yang tidak anjlok tajam dan konsumsi rumah tangga serta konsumsi pemerintah yang masih tumbuh positif.
Indonesia, kata ekonomon Indef ini, masih lebih beruntung. Sebab, peranan ekspor barang dan jasa relatif rendah dan jauh lebih rendah dari Singapura, hanya 18,4 persen. Sementara itu, peranan impor hampir sama dengan peranan ekspor, yaitu 18,9 persen.Sementara itu, peranan impor hampir sama dengan peranan ekspor, yaitu 18,9 persen.
"Kebetulan juga impor merosot lebih dalam dari impor. Jadi kemerosotan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) justru positif buat pertumbuhan ekonomi sehingga memberikan sumbangsih dalam meredam kemerosotan pMantan Cagub DKI Jakarta itu mengatakan Indonesia masih punya peluang terhindar dari jurang resesi apabila berhasil tumbuh positif pada triwulan III 2020. Dengan catatan, pandemi COVID-19 bisa segara dijinakan.
"Kalau COVID-19 bisa segera dijinakkan, kita berpeluang tidak mengalami resesi karena pertumbuhan triwulan III-2020 masih ada kemungkinan positif kembali. Namun, separah-parahnya tekanan yang bakal kita hadapi, agaknya resesi tidak akan sedalam Singapura dan beberapa negara tetangga. Masih ada waktu menyiapkan beragam amunisi," ucap Faisal.
Tumpuan Indonesia agar terhindar dari krisis lebih dalam adalah belanja pemerintah dan menahan laju penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan penopang utama perekonomian dengan sumbangan dalam PDB sebesar 57 persen. Untuk itu, perlu ada berbagai macam bantuan kepada masyarakat yang rentan dari dampak COVID-19. Seperti Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan (PKH) yang yang dinaikkan nilai bantuannya dan diperluas jumlah penerimanya serta paket bantuan lainnya, menurut dia, sangat membantu menopang daya beli masyarakat.
Sementara investasi yang menjadi penyumbang PDB terbesar kedua, kata Faisal, tidak bisa diandalakan saat ini sebab dunia usaha sedang fokus mempertahankan produksi yang ada.
Faisal mengatakan, trasaksi perdagangan Indonesia selalu terbantu jika dunia mengalami resesi maupun ketika perekonomian Indonesia mengalami tekanan berat.
Bahkan membuat current account berbalik menjadi surplus seperti pascakrisis 1998. Sayangnya, kata dia, Indonesia tak kunjung belajar dari krisis-krisis sebelumnya, yakni tak bisa mempertahankan surplus ini.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia tidak bisa lagi berharap dari investasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Dia meminta untuk melancarkan belanja perintah sebagai solusinya.
"Yang bisa diharapkan sekarang ini, semua negara hanya satu yang diharapkan yaitu belanja pemerintah, spending kita," ujar Jokowi.