Gejala COVID-19 di Indonesia, Dari Yang Ringan Hingga Berat

ERA.id – Penyakit infeksi COVID-19 memiliki banyak gejala. Mulai yang ringan batuk, hingga yang sedang seperti demam dan sesak napas. Dari sekian banyak gejala, manakah gejala paling sering dirasakan pasien-pasien COVID di Indonesia?

Jawabannya adalah demam, yang kedua batuk, dan ternyata sedikit pasien positif COVID yang mengalami sesak napas. Keterangan ini disampaikan Ketua Tim Penanganan Infeksi Khusus Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dr. Yovita Hantantri Sp.PD-KPTI.

RSHS merupakan rumah sakit pusat rujukan penyakit infeksi di provinsi Jawa Barat. Hingga kini RSHS sudah merawat lebih dari 700 suspek, 100 orang di antaranya positif COVID-19.

Yovita Hantantri telah menghimpun profil gejala klinis pasien-pasien di RSHS. Dari data tersebut ditemukan bahwa kebanyakan pasien mengalami gejala demam yang jumlahnya antara 60-70 persen. 

“Mayoritas demam ya, dari total pasien yang sudah kita lihat datanya,” kata dr Yovita, saat dihubungi Era.id, Senin (20/7/2020).

Dokter spesialis penyakit dalam itu menjelaskan, timnya telah menelaah data pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19 dan gejala demam memang mendominasi. Kejadian demam pada pasien bisa berupa riwayat maupun ketika saat penanganan oleh tim RSHS. 

“Kita tidak lihat satu-satu karena demam itu bisa berarti riwayat. Artinya dalam nemesis pasien ada riwayat demam sebelumnya, bukan berarti demam di saat datang (ke RSHS). Jadi bervariasi, ada beberapa yang datang tidak demam, tapi ada yang beberapa hari lalu dia demam, pada saat datang tidak demam. Ada yang kemudian dalam perawatan dia demam,” terangnya.

Suhu tubuh yang sudah masuk kategori demam adalah lebih dari 37 derajat Celsius, yakni mulai 37,5 derajat, 37,8 derajat, bahkan sampai lebih dari 38 derajat.

Tim lantas membandingkan pasien COVID dengan pasien diduga COVID yang kemudian tidak terbukti COVID, di mana hasilnya gejala demam lebih mendominasi pada pasien yang terbukti positif COVID. “Yang ada demam atau riwayat demam itu mayoritas pada pasien-pasien terbukti COVID,” katanya.

Sehingga skrining untuk pasien yang diduga COVID adalah dengan menyelidiki gejala demam. “Gejala yang terpenting itu adalah demam. Iya, yang utama demam,” katanya.

Banyaknya pasien COVID di RSHS yang memiliki gejala demam sekaligus mengonfirmasi data kinis dari luar negeri, terutama dari Wuhan, Cina, ketika pertama kali wabah. Saat itu pemerintah Cina membuka data penyakit yang awalnya disebut novel coronavirus-2019, sebelum dinamai COVID-19. 

“Kalau kita lihat data-data di China juga gitu, sama, dari literatur data pasien mereka yang dinyatakan positif COVID itu demam rata-tata, hamPir 80 persen. Data (pasien) kami yang sekitar 60-70 persen demam. Jadi hampir sama kalau dilihat dari keluhannya (gejalanya),” ungkap Yovita. 

Secara medis, demam memiliki sejumlah arti. Untuk kasus infeksi COVID-19, pasien yang mengalami demam bisa disimpulkan mengalami peradangan atau luka akibat infeksi. Demam menunjukkan bahwa peradangan atau inflamasi sedang terjadi atau berproses di dalam tubuh pasien. 

Tim RSHS, atau medis, melihat demam pada sebagai tanda atau prediksi bahwa kondisi pasien tidak baik atau bahkan jelek. Jika inflamasi dibiarkan, kondisi pasien akan memburuk.

“Artinya itu (demam maupun inflamasi) satu sign, warning sign, bahwa ini ada satu proses inflamasi yang harus kita atasi. Penyakitnya masih belum bisa dikendalikan,” terangnya. 

Lebih buruk lagi, kata Yovita, demam juga sebagai tanda terjadinya badai sitoksin (cytokine storm) pada tubuh pasien. Badai sitoksin muncul karena reaksi sistem imun yang berlebihan. Sistem imun dihasilkan sel darah putih berupa protein sitoksin.  

Pada kasus infeksi umum maupun karena COVID, protein sitoksin bergerak untuk melindungi organ dari serangan SARS CoV-2. Pada kasus normal, produksi sitoksin oleh sistem kekebalan tubuh akan berhenti ketika daerah terinfeksi sudah cukup terlindungi. Akan tetapi dalam kondisi badai sitoksin, protein ini justru tak terkendali dan malah berakibat fatal pada organ tubuh yang dilindunginya. 

“Ada satu yang disebut badai sitoksin yang terus berjalan, dan itu bisa ditandai dengan adanya demam,” terang Yovita.

Namun, bukan berarti setiap pasien COVID yang demam akan mengalami kondisi fatal seperti badai sitoksin atau sampai kematian. Menghubungkan demam dengan kematian perlu kajian ilmiah yang ditopang data-data statistik.

Kematian pada pasien COVID lebih banyak terjadi pada pasien yang memiliki penyakit penyerta (komorbid) sebelum terinfeksi COVID. Penyakit-penyakit penyerta ini antara lain diabetes, darah tinggi, jantung, pernapasan, dan lainnya. 

“Jadi faktor yang memperberat itu, komorbid itu, artinya penyakit lain. Penyakit dasar lain yang bisa memperberat,” kata Yovita. 

Mayoritas kematian pasien positif COVID di RSHS juga dipengaruhi kasus komorbid, yakni pasien yang memiliki penyakit bawaan yang kondisinya semakin memburuk setelah terinfeksi COVID. Pasien komorbid umumnya berusia lanjut yang mengalami penyakit terkait bertambahnya usia (degeneratif).

“Secara kasar memang kami melihatnya yang komorbid lebih banyak (yang meninggal) dan usia yang lebih tua,” katanya.

Usia pasien COVID meninggal di RSHS paling muda 33 tahun dan tertua 86 tahun. Kematian pada usia muda, yakni pada pasien 33 tahun, pun dipengaruhi penyakit bawaan, yakni penyakit diabetes.

Menurut data RSHS, kematian pasien COVID (PDP/suspek) sebanyak 76 orang, terdiri dari terkonfirmasi positif 25 orang, terkonfirmasi negatif 24 orang, dan belum terkonfirmasi 27 orang. 

Gejala lain yang menempati urutan kedua ialah batuk yang persentasenya sekitar 50-60 persen dari pasien COVID di RSHS. Jenis batuknya batuk kering, kata Yovita.

Gejala ketiga, dan ini jumlahnya sedikit, adalah sesak napas. Padahal faktor yang mengerikn dari virus korona adalah serangannya pada pernapasan. Tapi Yovita bilang, pihaknya telah membandingkan antara pasien terkonfirmasi positif COVID dan pasien yang diduga COVID tapi kemudian terbukti non-COVID.

Hasilnya, pasien COVID di RSHS yang mengalami sesak napas jumlahnya sedikit. Sementara pasien yang terbukti non-COVID justru banyak mengalami sesak napas karena penyakit lain di luar COVID.

Dengan kata lain, sesak bukan gejala yang ada di daftar utama skrining pasien yang diduga COVID di RSHS meningat jumlah kasusnya yang sedikit.

“Ternyata sesak itu bukan menjadi satu tanda utama pada orang COVID, loh. Karena yang tidak terbukti COVID pun ada yang memiliki gejala sesak. Artinya, karena dia ada penyakit lain (penyebab sesak), gitu loh,” ucap Yovita. 

Kendati demikian, sedikitnya pasien COVID yang mengalami sesak napas bukan berarti menunjukkan bawa COVID penyakit ringan. COVID tetap harus diwaspadai mengingat daya penularannya yang tinggi.