Mahar Politik Picu Korupsi Kepala Daerah
This browser does not support the video element.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai korupsi kepala daerah berkaitan erat dengan mahar politik yang masih banyak diberlakukan sebagai syarat pencalonan seseorang menjadi kepala daerah. Menurut Titi, dalam banyak temuan soal mahar politik, partai politik (parpol) biasanya menjadikan para kandidat sebagai mesin uang untuk penggerakan, penggalangan, pemenangan dan pengawalan suara.
Selain itu, mahar politik juga banyak terjadi dalam bentuk pendanaan kampanye, saksi dan biaya lain, sesuai dengan tujuan pemenangan kandidat.
"Maka ini yang memicu kandidat untuk mencari dana-dana ilegal untuk pembiayaan kampanyenya ... Jadi dengan beberapa rentetan peristiwa belakangan ini saya tidak heran," kata Titi saat dihubungi era.id, Senin (12/2/2018).
Sebelum Marianus, KPK juga menangkap Bupati Jombang, Nyono Suharli dalam operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus lain. Seperti Marianus yang tengah siap maju dalam Pilkada 2018, Nyono juga telah siap bertarung untuk menyambung periode pemerintahan yang kedua.
Pragmatisme politik
Lebih lanjut, Titi menyebut pragmatisme politik yang dilakukan parpol sebagai persoalan yang juga memicu munculnya mahar politik yang berujung korupsi.
Menurut Titi, mandeknya sistem kaderisasi akhirnya membawa parpol pada sikap pragmatisme dengan memajukan calon-calon hanya berdasar popularitas dan kekuatan pendanaan, tanpa melewati sistem ideologis parpol.
“Yang diusung bukan kader, koalisinya juga dibangun bukan koalisi ideologis, tapi praktis, hanya untuk mendapatkan ketercukupan suara atau kursi untuk pengusungan calon, apa lagi ditingkahi dengan praktik mahar politik,” tutur Titi.
"Partai kita ini seperti mengalami disfungsi, jadi yang namanya penggerakan mesin partai itu semua dilakukan dengan uang dan semua itu dibebankan pada kandidat. Tidak lagi menjadi pekerja organik ideologis partai,” tambahnya.
Buruknya sistem pencalonan yang dilakukan parpol, dikatakan Titi telah menciptakan pusaran korupsi besar di lingkup parpol dan kepemiluan.
“Kalau kandidat-kandidat lain yang bukan petahana itu bisa menjadi lingkaran setan. Di mana kalau mereka terpilih mereka bisa melakukan praktik yang sama untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan," ujarnya.