Michael Rockefeller dan Misteri Kanibalisme di New Guinea, 1961
ERA.id - Hilangnya Michael Clark Rockefeller di dekat tanah Papua pada tahun 1961 sempat menjadi sensasi berita internasional. Salah satu pewaris bisnis minyak dan anak dari Gubernur New York ini tak pernah ditemukan lagi setelah ia mencoba berenang sejauh 19 kilometer menuju area pantai yang dikuasai suku Asmat yang dikenal kanibal.
Dalam surat bertanggal 13 November, 1961, Michael Rockefeller menceritakan antusiasmenya terhadap sebuah suku di daerah New Guinea yang saat itu masih dikuasai oleh Belanda. Belakangan daerah itu diketahui dihuni oleh suku Asmat dan menjadi bagian dari tanah Papua, Indonesia. Ia menulis:
"Saya sangat kecapekan, tapi umumnya ada banyak hal menarik di sini. Suku Asmat adalah suatu puzzle besar yang kepingan-kepingannya berupa ritual upacara dan gaya seni yang unik. Perjalananku membuatku mampu memahami (meski secara permukaan dan tidak lengkap) makna dari puzzle ini."
Saat itu, Michael, sarjana program Sejarah dan Ekonomi Universitas Harvard angkatan 1960, sedang dalam ekspedisi untuk merekam film dokumenter Dead Birds yang diproduseri Robert Gardner. Dalam film yang berusaha mendokumentasikan kehidupan suku Dani di Papua ini, Michael berposisi sebagai perekam suara (sound recordist).
Foto keluarga Rockefeller (Istimewa)
Di sela-sela syuting itulah, Michael berkesempatan untuk mempelajari suku Asmat dan mengoleksi karya seni ukir Asmat yang lantas terkenal.
Seperti ditulis dalam suratnya, pasca merampungkan film yang menjadi proyek Peabody Museum of Archaeology and Ethnology Harvard itu, Michael kemudian kembali ke tanah Papua sekitar bulan November. Ia pergi bersama antropolog Rene Wassing.
Alkisah pada 17 November, 1961, Michael dan Wassing sedang mengarungi perairan di sebelah barat Papua menggunakan perahu kano. Saat itu posisi mereka 3 kilometer dari bibir pantai. Namun, tiba-tiba perahu mereka tersapu gelombang pantai dan terbalik.
Selama beberapa hari mereka terombang-ambing di lautan. Namun dua hari kemudian, pada 19 November, 1961, Michael berkata ke Wassing "Aku rasa aku bisa menuju ke pantai." Dan ia pun berenang ke arah pantai.
Itulah terakhir kalinya Wassing melihat Michael. Ia sendiri berhasil diselamatkan keesokan harinya, sementara Michael tak pernah diketemukan lagi hingga kini.
Jadi Sensasi Internasional
Hilangnya Michael, anak muda berusia 23 tahun, di suatu sudut antah berantah di Asia menjadi sensasi media internasional. Kala itu, ayahnya, Nelson Rockefeller, menjabat sebagai Gubernur New York. Keluarga Rockefeller juga merupakan salah satu keluarga terkaya di Amerika Serikat. Bisnisnya mencakup 34 pecahan perusahaan minyak Standard Oil, termasuk ExxonMobil dan Chevron.
Banyak spekulasi yang mencoba menarik benang merah dari fragmen-fragmen fakta yang telah ditemukan.
Misalnya, pada saat Michael berenang dari perahu pada 19 November, 1961, jarak menuju pantai terdekat kira-kira 19 kilometer. Hal ini mendasari asumsi bahwa ia tewas karena kecapekan dan tenggelam di laut. Ada pula spekulasi bahwa tubuhnya dimangsa hiu dan buaya muara.
Ada pula dugaan bahwa ia menjadi sasaran balas dendam sebuah suku di Papua. Menurut penelusuran jurnalis Milt Machlin tahun 1969, tetua suku Otsjanep tewas dibunuh polisi Belanda pada tahun 1958. Letak hunian suku Otsjanep ini bila diukur akan sesuai dengan lokasi 'pendaratan' Michael bila ia berhasil menempuh lautan berjarak belasan kilometer. Dugaannya, Michael, seorang kulit putih mirip dengan serdadu Belanda, menjadi korban balas dendam suku Otsjanep.
Sosok lelaki kulit putih yang diduga Michael C. Rockefeller, pemuda 23 tahun yang hilang dekat hunian Suku Asmat, Papua, pada November 1961 (Istimewa)
Namun, spekulasi paling sensasional adalah bahwa Michael Rockefeller justru menjadi korban kanibalisme suku Asmat yang budaya dan seninya ingin ia pelajari. Tobias Schneebaum di film dokumenter Keep the River on Your Right berbicara dengan orang-orang kanibal suku Asmat. Mereka mengaku pernah bertemu Rockefeller di tepian sungai, lantas memakannya.
Keluarga Rockefeller tentu saja ingin memastikan nasib anak bungsu mereka. Pada tahun 1979, 18 tahun sejak hilangnya anaknya, Ibu Michael menyewa penyidik pribadi untuk pergi ke Papua dan mengusut tuntas misteri hilangnya Michael. Penyidik tersebut lantas menemukan sebuah suku yang mengaku memiliki tiga tengkorak orang kulit putih yang berhasil mereka bunuh. Penyidik ini lantas menukar mesin kapalnya dengan benda tersebut dan kembali ke New York.
Sesampainya di New York, sang penyidik menunjukkan tengkorak manusia tersebut dan mengatakan bahwa salah satu di antaranya adalah tengkorak kepala Michael. Banyak pihak sangsi dengan klaim tersebut. Namun, History Channel melaporkan bahwa ibu Michael memberi penyidik tersebut hadiah 250 ribu dolar (Rp3,63 miliar) karena berhasil memberi bukti akan akhir kisah Michael Rockefeller.
Karena jenazahnya belum berhasil ditemukan, keberadaan Michael pun masih diliputi misteri. Namun, pada tahun 1964, Michael akhirnya dinyatakan tewas setelah hilang selama tiga tahun.
Saat ini yang tersisa dari Michael adalah artefak suku Asmat yang menjadi koleksi Michael C. Rockefeller di Metropolitan Museum of Art (Met Museum) di New York City.
Tak diketahui mana spekulasi yang benar mengenai akhir nasib Michael. Namun, yang diketahui hingga kini ialah ia telah dituntun oleh rasa antusiasme oleh sebuah suku, sebuah “puzzle”. Ia berjuang menyusun puzzle tersebut, bahkan sampai harus membahayakan nyawanya sendiri.