Ganjil-Genap di Jakarta Bisa Munculkan Klaster Transportasi Publik

ERA.id - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jakarta Raya mengingatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar tidak tergesa-gesa menerapkan kebijakan ganjil-genap kendaraan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi, karena bisa memunculkan klaster transportasi publik.

"Kebijakan Dishub DKI yang memberlakukan ganjil genap pada hari Senin, 3 Agustus 2020, jelas mendorong munculnya 'cluster transmisi' COVID-19 ke transportasi publik," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.

Menurut Teguh, wacana Dinas Perhubungan DKI Jakarta memberlakukan ganjil genap selama 24 jam dan melibatkan kendaraan roda dua akan membuat pekerja beralih menggunakan transportasi publik apabila tidak dibarengi dengan pengawasan dan penegakan aturan pembatasan karyawan masuk kerja.

Kebijakan ini akan membuat penumpukan penumpang di sejumlah stasiun kereta api pada jam-jam sibuk, sehingga berpotensi meningkatkan penyebaran COVID-19, mengingat transportasi berbasis rel tersebut memiliki kemampuan mengangkut penumpang dalam jumlah besar.

"Jujur saja, saat ini hanya commuter line yang masih mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar, angkutan lain seperti bus sudah tidak mungkin diandalkan," katanya.

Menurut Teguh, persoalan kemacetan di DKI Jakarta di masa pandemi COVID-19 haruslah diselesaikan dari akar permasalahannya.

Ombudsman menengarai, peningkatan penglaju (komuter) dari wilayah penyangga ke Jakarta dan menumpuknya penumpang di transportasi publik khusus Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek, karena ketidakpatuhan instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta dalam membatasi jumlah karyawan yang harus masuk kerja.

"Jadi yang harus dibatasi adalah jumlah penglaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta," ujar Teguh.

Selain pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan swasta yang membandel terhadap ketentuan pembatasan jumlah karyawan yang boleh masuk hanya 50 persen, Ombudsman Jakarta Raya menyoroti waktu 'shift' kerja yang diberlakukan selama ini sesuai dengan SK 1477/2020 yaitu shift pertama pukul 07.00 – 16.00 WIB dan shift kedua pukul 09.00 – 18.00 terlalu pendek.

Menurut Teguh, pendeknya waktu shift kerja ini yang menyebabkan para penglaju tetap berangkat kerja di jam yang sama dengan saat belum ada pembagian shift.

"Data dari PT KCI dan Dirlantas Polda Metro Jaya terkait kenaikan jumlah penumpang selalu terjadi di jam sibuk pukul 06.00–08.00 WIB dan pukul 16.00–19.00 WIB, sementara angka kemacetan di ruas jalan kota dan tol juga terjadi di waktu yang sama," ujarnya.

Ombudsman Jakarta Raya, lanjut Teguh, mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan kajian terhadap kebijakan tersebut.

Hal yang sangat mungkin adalah memberi rentang waktu sif yang lebih panjang dengan jumlah jam kerja yang lebih pendek, misalnya sif pertama mulai pukul 07.00 WIB dan pulang pukul 14.00 WIB, sementara sif kedua mulai pukul 11.00 WIB dan pulang pukul 18.00 WIB.

"Kekurangan jam kerja bisa dikompensasi ke hari kerja, menjadi 6 hari kerja, agar jumlah jam kerja sepekan tetap terpenuhi," kata Teguh.