Warga Italia Dikenal Ngeyel, Tapi Toh Nurut Juga dengan Aturan COVID-19 Pemerintah
ERA.id - Italia pernah mengalami hari kelam di awal pandemi COVID-19 ketika dalam waktu 24 jam saja, 969 orang meninggal dunia akibat infeksi virus korona. Namun, empat bulan setelahnya, kehidupan di Italia hampir kembali normal. Bagaimana caranya?
Minggu-minggu bulan Februari dan Maret 2020 memberikan memori yang menyedihkan bagi warga Italia, terutama penduduk Lombardy, di Italia utara. Foto peti mati yang ditumpuk di lorong-lorong gereja dan diantar menggunakan rombongan kendaraan militer menghiasi hari-hari warga Italia yang sedang merasakan larangan pergi keluar rumah (lockdown).
Banyak orang kehilangan orang-orang terdekat, yang banyak di antaranya adalah kaum lansia.
Namun, karena kebijakan pemerintah Italia yang ketat, dan juga kemauan warga Italia untuk menaati aturan, kurva angka kematian akibat COVID-19 di Italia melandai di angka 35.000. Memang masih ada pertambahan kasus tiap harinya, namun, kasus tersebut biasanya terjadi di hunian para pendatang yang kini terus dikontrol oleh otoritas setempat.
Saat ini, sekolah dan klub malam di Italia memang masih belum dibuka, seperti dilansir CNN. Namun, penduduk Italia tengah menikmati musim panas seperti sedia kala. Mereka menikmati makan malam di restoran bahkan juga berlibur.
Keberhasilan Italia dalam mengontrol laju persebaran virus korona di negaranya adalah berita positif, sekaligus mengundang rasa penasaran. Di awal-awal pandemi, masih banyak berita adanya pesta mewah atau kegiatan yang seakan menunjukkan resistensi warga terhadap adanya pandemi ini.
Rupanya, seperti dikatakan oleh direktur Institut Kesehatan Nasional Italia Gianni Rezza, bayangan mengenai kerabat yang harus menghadapi ajal seorang diri rupanya menciptakan rasa sesal dan takut kepada warga Italia.
"Populasi Italia bereaksi secara positif di fase pertama. Namun, rasa takut mungkin juga berperan dalam fase itu," katanya kepada CNN. "Foto-foto peti jenazah yang diangkut memakai truk militer ke Bergamo sangatlah mengerikan, dan itu menjadi bahwa membiarkan virus tersebar di luar kendali akan menghasilkan masalah serius."
Hari ke hari, situasi di Italia membaik. Tiap orang mematuhi aturan lockdown dan memakai masker dengan tertib. Pada bulan Mei, warga boleh keluar rumah untuk membeli makanan. Sementara itu, otoritas kesehatan terus memantau tingkat infeksi dan bergerak cepat jika ditemukan adanya klaster baru.
Pada tanggal 23 Juli, Menteri Kesehatan Italia Roberto Speranza memastikan bahwa kerja keras Italia berbuah.
"Saya meyakini bahwa Italia telah keluar dari badai dengan selamat," kata Speranza.
Jurnalis dan penulis Beppe Severgnini mengakui bahwa kultur Italia erat dengan sikap skeptis terhadap aturan. Ia beropini bahwa mengikuti aturan tanpa mempertanyakan tujuannya lebih dulu "adalah cemoohan pada kecerdasan kami." Namun, saat Italia menerapkan lockdown pada tanggal 10 Maret lalu, semua taat.
"Dalam kasus COVID-19, kami berpikir bahwa lockdown ini masuk akal. Dan kami tidak perlu dipaksa untuk melakukannya," kata Severgnini.
Apresiasi juga diberikan kepada Perdana Menteri Giuseppe Conte karena telah bersikap dengan jelas dan tepat. Tak berafiliasi dengan partai politik manapun, ia bisa memilih yang terbaik untuk negaranya.
Severgnini kembali menekankan bahwa rasa takut memiliki peran penting selama pandemi ini.
"Rasa takut memiliki kebijaksanaannya sendiri," kata dia. "Sikap keras kepala adalah bentuk lain dari sikap ceroboh."
Italia kini menjadi model penerapan kebijakan kesehatan selama pandemi COVID-19, terutama ketika pada Selasa (11/8/2020) angka kasus infeksi global telah melampaui rekor 20 juta kasus.
Seperti diberitakan oleh koran Al-Jazeera, saat ini terdapat 27.000 kasus infeksi harian di Brasil dan Meksiko. Sementara 12,2 juta orang telah sembuh dari COVID-19, 735 ribu nyawa melayang karena penyakit ini, seperti dicatat oleh Universitas John Hopkins.