Garudeya Mencari Air Amrta untuk Kemerdekaan Ibu Pertiwi
ERA.id - Sosok mitologis Garudeya, setengah manusia setengah garuda, pergi ke dunia para dewa untuk membebaskan ibunya dari perbudakan. Hal ini menjadi inspirasi ketika Indonesia baru saja merdeka dan para pejuang kemerdekaan mencari figur untuk melambangkan proyek bernama Indonesia.
Dalam kisah "Samuderamantana", seorang selir Bhagawan Kasyapa yang bernama Winata kalah berjudi dengan selir lainnya, Kardu, tentang apa warna ekor kuda Ucchaishrawa yang biasa keluar dari Lautan Susu tempat mereka sedang duduk kala itu. Akibat kekalahan itu sangat buruk, yaitu bahwa Winata harus mau menjadi budak Kadru.
Kedua selir tersebut sebenarnya tidak sendirian meski sama-sama tidak dianugerahi anak kandung. Sementara Bhagawan Kasyapa memberi seratus telur yang lantas menetas menjadi seratus ular untuk Kadru, Winata mendapatkan tiga ekor telur yang salah satunya menetas menjadi sesosok manusia berkepala elang, yang kemudian dikenal dengan nama Garudeya.
Saat sudah besar, Garudeya memahami kondisi perbudakan yang menimpa ibunya. Ia lantas tahu bahwa ibunya bisa bebas jika berendam dengan air amrta.
Maka, Garudeya pun pergi mencari amrta, bahkan hingga ke dunia para dewa. Di sana ia bertemu dengan dewa Wisnu dan berjanji, jika berhasil mendapatkan amrta, ia mau menjadi kendaraan sang dewa. Dari situ lah, Garudeya mendapatkan air amrta yang kelak akan membawa kemerdekaan bagi ibunya.
Kisah tersebut sebenarnya bagian dari episode "Adiparwa" dalam babad Mahabharata. Episode ini telah disadur selama masa pemerintahan Dharmmawangsa Tguh pada awal abad ke-9, kata Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang. Naskah dalam bahasa Sanskerta diterjemahkan ke bahasa Jawa Kuno.
Kisah ini menjadi inspirasi relief candi selama masa Majapahit, yaitu sekitar abad ke-14. Relief berbentuk Garudeya ada di dinding Candi Kidal, Candi Kedaton, dan Candi Sukuh.
Arca Wisnu menaiki Garuda bisa ditemui di Petirtaan Belahan yang ada di lereng Gunung Penanggangungan, Jawa Timur. Menurut arkeolog Hariani Santika, arca yang menggambarkan Garuda tengah mencengkeram Naga itu dianggap sebagai perwujudan Raja Airlangga (990-1049).
Kisah Garudeya yang mencari amrta untuk membebaskan ibunya, Winata, menunjukkan pembebasan atas perbudakan. Dwi Cahyono pun menganggap hal ini menjadi simbol bakti pada ibu pertiwi. Kisah tersebut memperlihatkan upaya pembebasan ibu pertiwi dari penjajahan, menuju pada kemerdekaan.
Tak mengherankan bahwa Garudeya, atau Garuda, memenuhi pertimbangan dari tim penggagas lambang negara Indonesia, yaitu Moh. Yamin, R. M. Ng. Poerbatjaraka, dan Soepomo.
"Teks susastra dan relief cerita tentang Garudeya itu dijadikan referensi bagi penentuan figur lambang negara," kata Dwi, seperti dilansir oleh Tirto.
Sementara itu, untuk desain lambangnya, inspirasinya datang dari relief Garuda di Candi Sukuh. Di komkpleks tersebut, terdapat arca Garuda yang mengepakkan sayapnya dengan lebar. Di masing-masing kakinya tercengkeram seekor naga yang saling berhadapan.
Kedua naga yang membelit kaki Garudeya itulah, kata Dwi Cahyono, yang diubah menjadi pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan dalam bahasa Kawi ini berusia ratusan tahun dan bisa ditemukan dalam serat Kakawin Sutasoma tulisan Mpu Tantular.