MUI Khawatir Vaksin COVID-19 Bersinggungan dengan Babi, Umat Muslim Harus Tahu
ERA.id - Saat ini sedang marak perbincangan tentang status kehalalan vaksin COVID-19. Namun, di mana sebenarnya titik kritis kehalalannya? Apakah vaksin COVID-19 mengandung babi?
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) berkewajiban untuk memeriksa kehalalan produk mulai dari hulu hingga hilir. Artinya, dari mulai bahan baku, proses pembuatan, hingga produk dikemas. Hal ini juga berlaku bagi produk vaksin.
Saat ini, pihak LPPOM MUI belum berani mengeluarkan statement mengenai status kehalalan vaksin sebelum dilakukan pengkajian.
Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim, M.Si. menyampaikan sertifikasi halal vaksin harus dibuktikan dalam audit sertifikasi halal. Adapun terkait vaksin, menurutnya yang perlu disoroti adalah media-media yang digunakan dalam proses isolasi, pertumbuhan, dan pengembangan virus harus dipastikan tidak tercemar najis dan hal yang diharamkan.
“Ketika berbicara vaksin maka yang menjadi titik kritis umumnya pada media virus yang digunakan dan sumber virusnya. Sehingga kita perlu memeriksa mulai dari cara melemahkan virusnya, isolasi virus, media pertumbuhannya, media pengembangannya, hingga penggunaan alat-alat produksinya,” papar Lukmanul, seperti dikutip dari laman LPPOM MUI, Senin (7/9/2020).
Menurutnya ada kemungkinan vaksin bersinggungan dengan babi dalam proses pembuatannya. Dalam hal ini, jika vaksin tidak mengandung bahan dari babi, tapi di dalam pembuatannya bersinggungan dengan bahan babi, maka ketika dilakukan uji DNA pun tidak akan terdeteksi adanya DNA babi. Inilah yang perlu dikaji untuk memastikan tidak ada pencampuran atau persinggungan dengan babi selama proses pembuatan vaksin.
Mengacu pada fatwa MUI No. 30 tahun 2013 tentang obat dan pengobatan, penggunaan bahan najis atau haram dalam pengobatan hukumnya haram. Dengan demikian jika vaksin terbuat atau menggunakan bahan dari babi pada proses pembuatannya, maka otomatis vaksin tersebut menjadi haram sesuai dengan kaidah ikhtilath.
Ikhtilath atau percampuran dengan suatu najis atau haram tidak diperbolehkan dalam produk halal.
Sementara itu, Bambang mengakui bahwa proses sertifikasi halal perlu persiapan yang mendetail.
“Yang akan dilihat dalam proses sertifikasi halal itu sampai ke sumber bahan baku. Misalnya, ada bahan baku dari negara lain, maka harus dipastikan bahan baku tersebut sudah memiliki sertifikat halal. Ini yang harus disiapkan sampai lengkap terlebih dahulu agar nantinya proses sertifikasi halal bisa cepat,” jelasnya.