KASUM: Kasus Munir Harus Dilihat Sebagai Pelanggaran HAM Berat
ERA.id - Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) menyampaikan dokumen legal opinion terkait kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib ke Komnas HAM, Senin (7/9/2020) siang.
Dalam konferensi pers sebelum penyerahan legal opinion (LO), Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menjelaskan bahwa kasus Munir terancam menguap tanpa bekas karena ia masih dianggap kasus pidana biasa. Dalam hal ini, ada ketentuan kasus akan masuk masa daluwarsa 18 tahun pasca kejadian, yang akan jatuh pada 7 September 2022.
"Kasus Cak Munir (panggilan akrab Munir) belum tuntas," kata Arif. "Para pelaku yang menjadi otak intelektual, man behind the gun, bisa mendapatkan kebebasan sedemikian mudah ketika kasus ini tidak diselesaikan secara tuntas."
Sejauh ini, pengadilan baru memutus bersalah terhadap dua pelaku, yaitu eks pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto dan eks Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan. Indra sempat divonis 1 tahun penjara karena terbukti membantu Pollycarpus dalam memalsukan surat tugas. Sementara, Pollycarpus sendiri divonis 20 tahun penjara, meskipun pada tahun 2014 ia bebas bersyarat setelah menjalani 8 tahun masa hukumannya.
Namun, seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International sekaligus eks Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir, Usman Hamid, aksi peracunan Munir masuk dalam kategori "permufakatan jahat" yang melibatkan banyak aktor. Tidak hanya orang seperti Pollycarpus yang bergerak di lapangan saja yang terlibat, tapi juga ada para pembantu, perencana dan inisiator.
"Itulah kenapa kasus ini tidak bisa dilihat sebagai pembunuhan, tindak pidana biasa," kata Hamid.
Legal Opinion KASUM berisi desakan agar pengadilan melihat kasus Munir sebagai kasus HAM berat, "a gross violation to humanity." Diatur dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2000, pasal 7 dan pasal 9, yang dimaksud dengan kasus semacam itu adalah kejahatan yang meluas atau sistemik ditujukan langsung pada penduduk sipil. Kasus Munir yang melibatkan racun arsenik yang menyiksa dan posisi sang aktivis sebagai warga sipil dianggap KASUM memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat.
Konsekuensi dari diubahnya status kasus Munir sebagai kasus HAM berat adalah bahwa tidak dikenakan batasan daluarsa 18 tahun, atau statute of limitation. Hal ini dianggap membantu penegakan hukum dalam kasus Munir, terutama dalam mengadili sejumlah pihak yang bersembunyi dalam impunitas.
Usman Hamid mendukung langkah KASUM dalam mengajukan legal opinion mengenai kasus Munir ini. Menurutnya, selama ini pemakaian aturan hukum dalam penanganan kasus Munir itu lebih mencerminkan pemakaian hukum nasional, ketimbang hukum internasional.
"Karena itu wajar bila muncul kekhawatiran bahwa kasus ini terancam tidak bisa dibuka kembali ketika memasuki masa daluwarsa," kata Hamid.
"Tapi, sebaliknya, ketentuan daluarsa ini tidak berlaku jika ia digolongkan sebagai tindak pidana yang luar biasa."