Mengenang Kasus Munir: 16 Tahun Mencari Dalang Racun Arsenik

| 07 Sep 2020 14:00
Mengenang Kasus Munir: 16 Tahun Mencari Dalang Racun Arsenik
Seorang perempuan memasang poster bergambar Munir Said Thalib, aktivis HAM yang tewas di pesawawt dalam penerbangan menuju Bandara Schiphol, Amsterdam (7/9/2004).

ERA.id - Genap 16 tahun aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib meninggal di pesawat dalam penerbangan menuju bandara Schiphol, Amsterdam, 7 September 2004. Dua windu ternyata belum cukup untuk menjebloskan dalang pembunuhan Munir, meski dugaan dan barang bukti sudah mengerucut ke satu nama oknum militer.

Seperti diceritakan Sri Ruminingtyas, pada 7 September 2004 ia seharusnya bertemu Munir di Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda. Hari itu, ia membawa dua potong roti bagel isi tuna untuk bisa disantap Munir di tengah cuaca Amsterdam yang dingin menggigit tulang. Ia juga tak jadi membeli tiket kereta pulang-pergi (PP) karena barangkali Munir, yang sedianya pergi ke Belanda karena mendapat beasiswa studi Magister, akan meminta diantar ke Universitas Utrecht, tempat ia akan menempuh studi hukum.

Namun, lepas pukul 08.10, yaitu waktu kedatangan penerbangan Garuda GA-974 yang membawa Munir, ia tak juga melihat Munir berjalan melewati Arrival Gate.

"Waktu itu aku membayangkan ia keluar mendorong troli sambil cengar-cengir," kata Sri, dalam seri podcast yang dirilis Museum HAM Omah Munir. "Setelah kutunggu-tunggu, belum keluar juga penumpang dari Garuda."

"Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Ternyata Pungki (teman Munir di Indonesia, red.) menelepon aku. 'Mbak Sri, kamu di mana? Sudah ketemu Munir? Di sini kami dapat informasi, mungkin rumor. Katanya, Munir meninggal di pesawat."

Belakangan, setelah menemui tiga orang dari Kepolisian Belanda yang berada di Bandara Schiphol, Sri mengonfirmasi bahwa Munir benar-benar meninggal, 2 jam sebelum pesawat mendarat di Schiphol. Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah berulang kali mengeluh sakit di perutnya.

Karena latar belakang Munir yang seorang aktivis HAM dan penerima Right Livelihood Award pada tahun 2000, Kepolisian Belanda bergerak membentuk tim investigasi terhadap jenazah Munir. Hasil investigasi menemukan adanya racun arsenik sebanyak 3,1 miligram. Jumlah ini dua kali lipat dari yang mampu diterima oleh tubuh manusia. Kematian Munir pun dikategorikan sebagai kasus pembunuhan. Berikutnya, berbagai pihak bergegas mencari siapa dalang dan pelaku di balik kematian sang aktivis HAM ini.

Sekongkol Pilot dan Oknum Cijantung

Nama pertama yang disasar pengakuannya adalah pilot Garuda yang ikut menumpang di penerbangan GA-974, Pollycarpus Budihari Priyanto. Sejumlah fakta dan perkataan saksi membuat alibinya lemah. Para saksi dalam persidangan kasus Munir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengaku melihat Pollycarpus berbincang dengan Munir di kedai Coffee Bean saat pesawat transit di Bandara Changi, Singapura, beberapa jam sebelum Munir jatuh sakit karena reaksi racun arsenik.

Pollycarpus Budihari Priyanto
Pollycarpus Budihari Priyanto (berkemeja biru), pilot Garuda yang menjadi pelaku peracunan aktivis HAM Munir Said Thalib.

Pollycarpus juga dikatakan melepaskan jatah kursinya dan memberikannya pada Munir, sehingga Munir bisa berada dalam penerbangan tersebut.

Pada 25 Januari 2008, sang pilot Garuda tersebut divonis hakim hukuman 20 tahun penjara. Masa hukumannya sempat dikorting menjadi 14 tahun. Pada 28 November 2014, Pollycarpus Budihari Priyanto akhirnya bebas bersyarat setelah menjalani 8 tahun dari masa hukumannya.

Banyak pihak menganggap Pollycarpus hanyalah pelaksana dari misi pembunuhan berencana atas Munir. Dan mengenai siapa dalang di balik semua itu, satu nama mencuat, yaitu Mayor Jenderal (Purn.) Muchdi Purwopranjono, eks Komandan Jenderal Komandan Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat.

Muchdi dituduh menganjurkan Pollycarpus untuk membunuh Munir. Jaksa Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mendakwa bahwa motifnya dilatarbelakangi rasa dendam Muchdi pada Munir yang menyingkap kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998. Akibat pengungkapan itu Muchdi dicopot dari jabatan Danjen Kopassus. Ia diberhentikan berbarengan dengan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, yang mengetahui perihal hilangnya 13 aktivis tahun 1997/1998.

Dalam persidangan kasus Munir, sejumlah saksi tampak memperkuat dugaan keterlibatan Muchdi, yang pada 2004 bekerja sebagai Deputi V Badan Intelijen Negara Bidang Penanggulangan dan Propaganda. Dua staf Muchdi di BIN mengaku pernah melihat Pollycarpus, si pilot Garuda, di ruangan Muchdi. Hal ini tercatat dalam BAP polisi. Sayangnya, saat persidangan tersangka Muchdi, kedua anak buah itu mengubah kesaksiannya dan mengaku tidak mengenali wajah Pollycarpus.

Pada 2008, seorang anggota BIN juga berbicara pada Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir dan merinci rencana pembunuhan yang dibicarakan melalui rangkaian pertemuan di lingkungan BIN. Seperti dilansir Kompas, (24/9/2008), rincian ini menyangkut rencana, monitor, pengamatan, hingga eksekusi yang dilakukan sebelum pemilihan presiden. Temuan TPF tersebut disampaikan koordinator KontraS Usman Hamid dalam persidangan kasus Munir.

Salah satu bukti kuat keterlibatan Muchdi adalah barang bukti rekaman telepon antara Muchdi dan Pollycarpus, yang didapatkan TPF lewat bantuan dari PT Telkom. Sayangnya, seperti dilansir Kompas, (21/7/2010), barang bukti rekaman telepon tersebut tak disertakan di dalam berkas perkara Muchdi.

Jaksa PN Jaksel menuntut Muchdi dengan hukuman 15 tahun penjara dalam persidangan tahun 2008. Namun, hakim persidangan memvonis ia bebas karena tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Munir.

Tabir yang Tak Kunjung Terkuak

Dalang pembunuhan Munir masih melenggang bebas dari jeratan hukum, enam belas tahun pascakematian sang aktivis HAM. Nasibnya kini sebelas dua belas dengan gelapnya nasib 13 aktivis mahasiswa yang diculik dalam operasi intel Sandi Yudha pada 1997/1998 di bawah Kopassus, yang ia turut ungkap semasa hidupnya.

Pada tahun 2019, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim sempat menyebut bahwa Presiden Joko Widodo sudah meminta Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian, untuk meneliti dokumen terkait kasus Munir. Namun, karena masih berupa permintaan informal, belum ada laporan dari sang Kapolri hingga ia selesai menjabat.

"Belum ada, karena itu kan sifatnya masih meminta. Tidak ada instruksi khusus. Tapi memesankan lah pada Kapolri untuk menjawab masalah ini, supaya tidak didiamkan," kata Ifdhal di Kompleks Istana Kepresidenan, kala itu.

Munir Said Thalib
Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia (HAM) yang mendapat penghargaan Right Livelihood Award tahun 2000.

Perihal permintaan koalisi masyarakat sipil agar dokumen kasus Munir dibuka ke publik juga tak bisa ditepati karena, lanjut Ifdhal, dokumen TPF kasus Munir belum tercatat di Kementerian Sekretariat Negara.

Ifdhal mengakui ada keresahan dari pegiat HAM bahwa kasus Munir hingga belasan tahun tak kunjung tuntas. Orang-orang yang diduga menjadi dalang pembunuhan Munir masih bisa melenggang bebas.

"Tapi bukan berarti pemerintah mendiamkan. Tetap ada komitmen untuk kasus Munir ini. Karena kan hanya sedikit lagi, yang lain kan sudah diajukan ke pengadilan semua," ujarnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyesalkan tidak adanya perkembangan berarti dalam kasus peracunan Munir.

"Belum ada sama sekali perkembangan yang positif untuk peracunan terhadap Munir Said Thalib, meskipun sudah 16 tahun berlalu," kata Usman, yang juga bekas sekretaris TPF untuk kasus Munir, seperti dilansir DW.

Aktivis dan LSM di bidang HAM terus mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka lagi proses investigasi yang baru dan independen. Sejauh ini penyidikan oleh kepolisian dan peninjauan kembali oleh pihak kejaksaan dianggap Usman masih nihil.

"Bagi kami, rakyat, keluarga korban dan aktivis human rights, kasus Munir menjadi salah satu noda hitam bangsa," kata Natalius Pigai eks Komisioner Komisi Naisonal Hak Asasi Manusia. "Kasus Munir bagi pemerintah bukan merupakan kasus yang urgent."

Rekomendasi