Penolakan UU Cipta Kerja Terus 'Mengalir'

ERA.id - Penolakan dan kritik berbagai lapisan serta elemen masyarakat tak menghalangi langkah pemerintah dan DPR RI mengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2020-2021 di Gedung Parlemen, Senayan, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).

"Perlu kami sampaikan, berdasarkan yang kita simak dan dengar bersama. Maka sekali lagi saya butuh persetujuan dalam forum rapat paripurna ini. Bisa disepakati?" tanya Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsudin sebelum mengetuk palu persetujuan.

"Setuju," jawab anggota dewan diiringi dengan ketukan palu dari pimpinan rapat.

Kendati palu sidang sudah diketuk, namun suara warganet mulai bermunculan di dunia maya. Tagar bernada kekecewaan seperti #OmnibusLawSampah, #MosiTidakPercaya,dan #DPRRIKhianatiRakyat pun lalu lalang di media sosial. Aksi mogok nasional dari kelompok buruh tetap berjalan, demikian juga kritikan pedas dari organisasi keagamaan dan kemanusian semakin kuat disuarakan.

Dua Juta Buruh Tetap Gelar Aksi Mogok Nasional

32 federasi dan konfderasi serikat buruh dan beberapa federasi serikat buruh lainnya tetap menggelar Aksi Mogok Nasional mulai Selasa (6/10/2020) hingga 8 Oktober 2020. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, aksi mogok nasional ini akan diikuti 2 juta buruh

Dua juta buruh yang mengikuti nasional tersebut, kata Said, meliputi sektor industi seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, perbankan, dan lain-lain.

"Dalam aksi mogok nasional nanti, buruh akan menyuarakan tolak omnibus law RUU Cipta Kerja," tegas Said melalui keterangan tertulisnya dikutip Selasa (6/10/2020).

Adapun yang menjadi tuntutan buruh antara lain, UMK tanpa syarat dan tak menghilangkan UMSK, nilai pesangon tidak berkurang, tidak boleh ada PKWT atau karyawan kontrak seumur hidup, tidak boleh ada outsourcing seumur hidup, waktu kerja tidak boleh eksploitatif, cuti dan hak upah atas cuti tidak boleh hilang, karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.

"Sementara itu, terkait dengan PHK, sanski pidana kepada pengusaha, dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003," tegasnya.

UU Cipta Kerja Berpotensi Langgar HAM

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pengesahan UU Cipta Kerja menunjukan kurangnya komitmen pemerintah Indonesia dan DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia. Selain itu, DPR RI dan pemerintah terkesan lebih memihak pada kelompok yang diuntungkan dari aturan ini.

Pembuat kebijakan dinilai tidak mempertimbangkan pihak yang menentang substansi serta prosedur aturan tersebut. Akibatnya, hak jutaan pekerja kini terancam dengan adanya UU tersebut. Dengan pengesahan UU Cipta Kerja, pekerja dinilai berpotensi mendapat perlakuan tidak adil. Sebab dalam UU Cipta Kerja, perusahaan tidak diwajibkan mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap.

"Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap," kata Usman melalui keterangan tertulisnya, Selasa (6/10/2020).

Kemudian, Amnesty menilai, perusahaan dinilai akan semakin berpeluang untuk mengeksploitasi pekerja dengan pengesahan itu. Usman menuturkan, hal tersebut akan bermuara pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum sesuai undang-undang. Karena itu, Amnesty mendesak DPR RI merevisi aturan yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja.

"Kami mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker. Hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan," kata dia.

"Jangan sampai pengesahan ini menjadi awal krisis hak asasi manusia baru, di mana mereka yang menentang kebijakan baru dibungkam," tegas Usman.