Cuti Haid dan Melahirkan Tak Hilang Dalam UU Cipta Kerja, Tapi...

ERA.id - Pemerintah dan DPR RI kompak menjamin Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak akan meghilangkan hak cuti haid dan melahirkan yang sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaaan Nomor 13 Tahun 2003. Hal itu ditegaskan saat pengesahan UU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).

"RUU tentang Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan," tegas Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas saat membacakan laporan akhir.

Hal tersebut juga kembali ditegaskan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat membacakan pandangan akhir dari pemerintah usai Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi perundang-undangan.

"Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan," tegas Airlangga.

Namun, di dalam UU Cipta Kerja sendiri, tidak ada klausul yang menjelaskan mengenai cuti haid dan melahirkan. Adapun aturan mengenai cuti diatur dalam pasal 79 Bab Ketenagakerjaan.

Di dalam pasal 79 ayat (1) beleid dalam draf tersebut menjelaskan, pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti pekerja. Di ayat selanjutnya, dijelaskan waktu istirahat untuk di antara jam kerja diberikan paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus dan waktu istirahat tidak termasuk dalam jam kerja.

Sementara itu untuk istirahat mingguan diatur satu hari untuk enam hari dan kerja dalam satu minggu. Di sisi lain untuk cuti wajib tahunan wajib diberikan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja tersebut bekerja selama 12 bulan atau satu tahun. 

Sementara dalam Pasal 79 ayat (4) menjelasakan bahwa pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

"Selain waktu istirahat dan cuti yang telah dijelaskan di atas, perusahaan dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama," tulis beleid Pasal 79 ayat (5).

Adapun klausul mengenai melahirkan hanya dicantumkan dalam Pasal 153 bab Ketenagakerjaan terkait pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja/buruh dengan sejumlah alasan, sementara klausul terkait haid tidak disebutkan sama sekali.

Pasal 153 ayat (1) disebutkan pengusaha dilarang melakukan PHK kepada pekerja/buruh dengan alasan berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus, menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya, dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

"Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/butuh yang bersangkutan," tulis beleid Pasal 153 ayat (2).