Polemik di Balik Penyuntingan Draf Final UU Cipta Kerja
ERA.id - Sejak rapat paripurna DPR RI pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada 5 Oktober lalu, publik dibuat bingung soal keberadaan draf final UU Cipta Kerja yang asli. Saat itu, draf belum final yang beredar dianggap membuat 'kacau' pemberitaan.
Pemerintah mulai dari menteri hingga Presiden Joko Widodo kompak menyebut banyak hoaks dan disinformasi pemberitaan soal UU Cipta Kerja yang memicu demonstrasi besar-besaran pada tanggal 7 dan 8 Oktober lalu.
Mendekati tenggat waktu penyerahan draf final UU Cipta Kerja ke Presiden Jokowi, DPR RI baru buka suara. Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsudin mengatakan, draf final UU Cipta Kerja yang akan dikirim ke Presiden Jokowi memiliki tebal 812 halaman.
"Secara resmi kami lembaga DPR RI berdasarkan laporan dari bapak Sekjen, netting jumlah halaman sebanyak 812 halaman. Hal-hal ini perlu kami sampaikan untuk menyampaikan klarifikasi supaya tidak membingungkan khalayak dan masyarakat secara luas," ujar Azis dalam konferensi pers di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Banyak Versi Draf Final UU Cipta Kerja
Sedikitnya terdapat tiga draf final UU Cipta Kerja yang beredar di publik. Pertama, draf UU Cipta Kerja setebal 905 halaman. Keaslian versi ini sempat simpang siur. Belakangan Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengkonfirmasi versi 905 halaman yang dibawa ke rapat paripurna 5 Oktober lalu.
"Yang paripurna basisnya itu (draf UU Cipta Kerja 905 halaman)," kata Indra saat dihubungi, Senin (12/10/2020).
Pada 9 Oktober sempat beredar versi naskah setebal 1.052 halaman. Kemudian pada Senin 12 Oktober muncul versi draf setebal 1.035 halaman dan 812 halaman.
Namun Indra hanya mengkonfirmasi draf versi 1.035 halaman dan 812 halaman. Tapi, yang akan diserahkan ke Presiden Jokowi adalah versi draf 812 halaman.
Jumlah Halaman Berbeda Karena Beda Format Kertas
Indra menjelaskan adanya perbedaan jumlah halaman yang cukup signifikan karena adanya perbedaan format saat proses penyuntingan draf final UU Cipta kerja. Misalnya dari draf 905 halaman berubah menjadi 1.035 halaman, kata Indra penyebabnya karena spasi dan format yang belum dirapikan.
"Kemarin kan spasinya kan belum rata semua, hurufnya segala macam, nah sekarang sudah dirapikan. Jadinya spasi-spasinya kedorong semuanya halamannya," kata Indra.
Sementara perbedaan halaman dari 1.035 halaman menjadi 812 halaman, kata Indra karena perubahan format kertas. Pada draf sebelumnya, kata Indra format kertas yang digunakan ukuran A4 menjadi format kertas legal.
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsudin juga menjelaskan perbedaan jumlah halaman disebabkan mekansime pengetikan dan editing tentang kualitas dan besarnya kertas yang diketik. Dia mengatakan, saat proses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, format kertas yang dipakai adalah A4.
Sedangkan saat masuk ke tingkat II, proses pengetikan dari sekretariat menggunakan kertas ukuran legal yang sudah menjadi syarat ketentuan dalam tata tertib.
"Sehingga besar tipisnya, yang berkembang ada 1000 sekian, ada tiba-tiba 900 sekian, tapi setelah dilakukan pengetikan final berdasarkan legal drafter ditentukan dalam kesekjenan dan mekanisme, total jumlah pasal dan kertas halaman hanya sebesar 812 halaman," papar Azis dalam konferensi pers, Selasa (13/10/2020).
Dugaan Ada Perubahan Substansi
Mesksipun tiga draf UU Cipta Kerja yang beredar memiliki jumlah halaman berbeda, tapi DPR RI memastikan tidak ada perubahan substansi 'selundupan' pasal saat proses penyuntingan
"Kalau substansi tidak ada yang berubah saya jamin itu," ujar Azis dalam konferensi pers di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Selain itu, politisi Golkar ini juga menjamin tidak ada pasal 'selundupan' selama proses penyempurnaan draf UU Cipta Kerja. Dia mengatakan, mengubah substansi dan 'menyelundupkan' pasal merupakan tindak pidana.
Azis bahkan berani menjamin dengan sumpah jabatannya sebagai anggota legislatif bahwa Badan Legislasi DPR yang membahas UU Cipta Kerja tidak memasukan pasal-pasal 'selundupan' selama proses legislasi.
"Kami tidak berani dan tidak akan memasukan 'selundupan' pasal. Itu kami jamin sumpah jabatan kami. Karena apa itu tindak pidana apabila ada 'selundupan' pasal," kata Azis
Namun, berdasarkan catatan yang ada. Di antara ketiga draf UU Cipta Kerja tersebut, ada beberapa perubahan frasa hingga ayat. Seperti pada pasal 79, di draf final versi 812 halaman terdapat 6 ayat, sementara dalam draf versi 905 yang diparipurnakan hanya mencantumkan 5 ayat saja.
Sedangkan di pasal 88A, terdapat tiga ayat tambahan yang mengatur soal pengenaan denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah dan buruh/pekerja yang melakukan pelanggaran.
Kemudian di draf UU Cipta Kerja versi 1.035 halaman dan 812 halaman frasa 'paling banyak' pada Pasal 156 dihapuskan. Padahal, di draf versi 905 halaman, frasa tersebut dicantumkan. Adapun Pasal tersebut mengatur soal pesangon bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, terdapat pula bab yang hilang timbul di tiga draf tersebut, yaitu Bab VIA di antara Bab VI dan Bab VII. Bab tersebut mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Bab ini sebelumnya ada di draf 905 halaman, hilang di draf 1.035 halaman, lalu muncul lagi di draf 812 halaman.
UU Cipta Kerja Cacat Prosedural
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai UU Cipta Kerja cacat prosedural. Sebab, seharusnya draf RUU sudah dibagikan sejak awal hingga menjelang rapat paripurna.
"Jadi sedari awal sudah wajib dibagikan kan asas pembentukan UU berdasarkan yaitu asas keterbukaan yang diatur Pasal 5 huruf g UU 12 Tahun 2011. Makanya cacat prosedur dari pembentukan UU ini jelas dan nyata," ujar Feri saat dihubungi, Minggu (11/10/2020).
Selain itu pembahasan UU Cipta Kerja juga tidak menjalankan kewajiban pembuatan UU yang harus melibatkan partisipasi publik. Hal itu jelas tercantum dalam Pasal 96 UU Nomor 12 tahun 2011.
"(Pasal itu) soal partisipasi publik yang sedari awal (pembahasan) tidak melibatkan publik. Jadi cacat prosdurnya parah," ucapnya.