Fadli Zon: Tak Ada UU yang Larang Pelajar dan Mahasiswa Berdemo
ERA.id - Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Fadli Zon menilai pelajar dan mahasiswa yang ikut demo tak seharusnya diancam. Sebab demonstrasi bukan perbuatan kriminal.
"Aksi demonstrasi di berbagai daerah yang dilakukan para mahasiswa dan pelajar paska pengesahan RUU Cipta Kerja telah diberi stigma buruk," kata Fadli dikutip dari tayangan Youtube Fadli Zon Official, Selasa (20/10/2020).
Ia menegaskan deonstrasi merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin hukum dan konstitusi. Munculnya Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (SE Dikti) 1035/E/KM/2020 yang meminta agar perguruan tinggi mengimbau para mahasiswa untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja serta ancaman black list Surat Keterangan Cukup Kelakuan (SKCK) dari kepolisian pada para pelajar yang ikut berdemonstrasi dianggap sebagai intimidasi yang menyalahi ketentuan dan melanggar prinsip demokrasi dan HAM.
"Berdemonstrasi atau aksi mengeluarkan pendapat yang dilakukan secara damai, bukanlah tindakan pidana dan bukan pula sebuah kejahatan. Tidak pantas kalau aparat membuat stigmatisasi negatif terhadap para pelaku aksi tadi atau menakut-nakuti mereka dengan sejumlah ancaman hukum," katanya.
Menurutnya, polisi tidak bisa dan tidak boleh melarang para pelajar untuk berdemonstrasi. Apalagi tak ada satu pun UU yang melarang.
"Sama halnya seperti warga negara lain yang telah dewasa, para pelajar juga memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Silakan baca di UU Perlindungan Anak, tidak ada larangan sebagaimana dikesankan," katanya.
Menurutnya, UU hanya melarang anak-anak dieksploitasi. Kalau anak dieksploitasi misalnya dibayar atau dipaksa maka dilarang UU.
"Kalau ikut karena kesadaran sendiri, aparat, tidak boleh menghalang-halangi mereka," katanya.
Ia yakin para pelajar mulai dari siswa SMA dan STM bukan 'anak kemarin sore'. Bahkan sejak zaman Belanda, pelajar setingkat SMA sudah terlibat dalam berbagai aksi politik.
"Begitu juga yang terjadi pada 1966, 1998, para pelajar dengan kesadaran sendiri sudah biasa turun ke jalan, pada usia itu mereka memang sudah melek politik, jadi kalau ada yang meragukan atau mengecilkan kesadaran politik anak-anak SMA atau STM, orang itu pasti buta sejarah," kata Fadli.
Ia pun heran dengan SE Dikti. SE itu menurutnya harus dicabut karena merupakan bentuk intervensi hak-hak politik kewargaan dan menjadi preseden buruk kemendikbud.
"Kemendikbud telah melanggar batas kewenangannya," katanya.