Sejarawan Unhalu Bahas Kalosara dan Tolaki, Ini Poin Pentingnya

ERA.id - Sejarawan dari Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Prof. Dr. Anwar Hafid, MPd mengatakan Suku Tolaki yang mendiami jazirah Tenggara Pulau Sulawesi masih menjunjung aturan Kalosara yang menjadi pedoman bagi segala perilaku masyarakat.

"Bagi masyarakat Tolaki, Kalosara merupakan landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial budaya Suku Tolaki, termasuk kepemimpinan, kaidah-kaidah hidup masyarakat, sistem norma-norma, sistem hukum lainnya diatur dalam Kalosara itu," kata Anwar Hafid dalam rangkaian Seminar Budaya Sulawesi Tenggara yang diselenggarakan UPTD Museum dan Taman Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra, di Kendari, Senin (16/11/2020).

Ia mengatakan, nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam lembaga adat Kalosara berintikan persatuan dan kesatuan, keseriusan, dan keharmonisan serta keamanan juga kedamaian.

"Karena itu, bagi masyarakat Tolaki sangat menghargai, mengeramatkan dan menyucikan serta menaati ajaran-ajaran nenek moyang mereka. Dan apabila mereka berbuat sebaliknya diyakini akan mendatangkan bala atau durhaka," ujarnya.

Dosen FKIP UHO yang juga sebagai penulis buku tentang sejarah Kota Kendari dan Kolaka itu mengatakan, instrumen secara antropologis merupakan unsur kebudayaan yang merupakan satu pusat dalam kebudayaan Tolaki, sehingga mendominasi banyak aktivitas atau pranata kehidupan orang Tolaki. Serta sebagai alat pemersatu dan solusi tentang terhadap pertentangan-pertentangan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Tolaki.

Kalosara yang saat ini sebagai warisan budaya nusantara khususnya di Sultra, sangat mempertahankan dan menjunjung tinggi adat yang namanya Kalosara, sehingga instrumen di Lembaga Adat Tolaki (LAT) terus dilestarikan dan mempertahankan nilai-nilai yang terkadung dalam Kalosara itu.

Tidak salah, kata Prof Anwar, bahwa Kalosara yang sangat sakral dan ditakuti masyarakat Tolaki. Bila ada yang melakukan pelanggaran, apakah itu sengketa menyangkut pribadi, politik atau sengketa batas desa dengan daerah lainnya yang seringkali sulit dipecahkan atau diselesaikan pemerintah, akhirnya harus diselesaikan secara adat Kalosara.

Sebelumnya, Kadis Dikbud Sultra Asrun Lio mengatakan, membahas masalah kebudayaan tidak sama dengan mengolah tambang emas, semakin diolah maka lambat laun akan terkuras habis, tetapi kebudayaan setiap dikaji dan didiskusikan maka akan melahirkan satu inovasi, dan gagasan-gagasan yang baru dan memperkaya khasanah kebudayaan di daerah.

"Artinya berbicara masalah kebudayaan tentu ada tiga aspek yang harus kita ketahui, yakni membicarakan masa lalu, masa sekarang, dan tentu masa yang akan datang," tuturnya.

Asrun mengatakan, diakui atau tidak, kebudayaan yang ada sekarang ini sudah mulai bergeser sehingga dibutuhkan reaktualisasi atau penyegaran/perbaikan budaya agar warisan budaya itu tetap aktual, sehingga bisa menjadi warisan dan benteng pertahanan identitas atau tradisi kita selanjutnya.

"Reaktualisasi budaya ini sangat penting karena kita melihat budaya-budaya yang ada sekarang sudah mulai bergeser, apalagi sekarang kita menghadapi era industri 4.0 dan perilaku manusia itu mudah berubah," tuturnya.

Seminar Kebudayaan Sulawesi Tenggara yang berlangsung selama dua hari ini, diikuti sebanyak 60 peserta dari unsur tenaga pengajar, tokoh budaya, tokoh adat dari Kabupaten Kota se-Sultra serta dari beberapa perwakilan paguyuban masyarakat dari luar Sultra seperti Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) dan paguyuban Sunda, Jawa dan Bali yang ada di Sultra.