'Mengupas' Tiga Kemungkinan Alasan Aksi Teror Mujahidin Indonesia Timur di Sigi

ERA.id - Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) membantai satu keluarga dan membakar sejumlah rumah di Desa Lemba Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (27/11). MIT ini dipimpin Ali Kalora, yang disebut sebagai penerus pimpinan MIT terdahulu yaitu Santoso.

Santoso telah tewas saat Operasi Tinombala yang digelar pemerintah sejak tahun 2015. Keberadaan Ali Kalora membuat Operasi Tinombala tak segera dibubarkan. Kejadian terbaru bahkan membuat operasi gabungan TNI-POLRI ini tetap dilanjutkan.

Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menilai, aksi teror yang dilakukan MIT di bawah pimpinan Ali Kalora dilatarbelakangi sejumlah sejumlah alasan. Pertama, upaya mereka bertahan hidup dari kelaparan dan jaminan keamanan.

"Ini dominan soal bertahan hidup bagi kelompok MIT. Untuk survive, selain mereka butuh logistik makanan dan kebutuhan pokok lainnya juga butuh aman bagi keselamatan nyawa kelompok mereka," ujar Ulya seperti dikutip dari keterangan tertulis pada Senin (30/11/2020).

Soal logistik, menurut Ulya, bisa didapatkan oleh kelompok MIT dari santunan penduduk setempat yang dekat dengan persembunyian mereka atau mereka mengambil dengan cara ilegal. Sedangkan selama operasi Tinombala digelar dan mereka masih menjadi buronan aparat, maka tak bisa dipungkiri kelompok tersebut membutuhkan rasa aman.

Dua faktor itulah yang menjadi pemicu tindakan kekerasan ketika kelompok tersebut merasa terancam oleh pihak-pihak yang menjadi sumber ancaman atau yang menghalanginya. Tak terkecuali bagi warga setempat yang mereka anggap mengganggu keamanan kelompok MIT.

"Oleh sebab itu, semua pihak terutama penduduk setempat yang dianggap bisa menjadi pembocor atau informan kepada aparat perihal keberadaan mereka maka jalan pintasnya dieksekusi," kata Ulya.

Asumsi tersebut muncul sebab beberapa pekan lalu dua anggota MIT tewas di tangan aparat keamanan. Akibatnya, mereka mencurigai salah satu dari keluarga warga setempat yang menjadi informan. "Dan ini sangat mungkin memicu dendam kelompok MIT untuk melakukan aksi pembantaian," katanya.

Karenanya, aparat diminta menggali kemungkinan adanya konflik pribadi antara keluarga korban dengan pelaku. Sebabnya, MIT tergolong melakukan "aksi bunuh diri" apabila perbuatan keji itu dilakukan dengan motif mengirim pesan bahwa kelompoknya masih eksis lantaran menjadi jejak dan memudahkan petugas memetakan serta melakukan penyekatan agar ruang geraknya semakin sempit.

Kemungkinan kedua, teror yang dilakukan MIT sebagai pengalihan atau mengelabui aparat. Artinya, kata Ulya, aksi pembantaian yang menewaskan empat orang itu hanya sebagai 'exit door' atau pintu keluar agar kelompok mereka bergeser ke tempat yang lebih aman.

Ketiga, Ulya menyebut bisa saja aksi teror itu tidak dilakukan oleh MIT, melainkan ada kepentingan yang lebih besar terkait isu terorisme di Poso di balik pembantaian tempo hari lalu.

Dia lantas menyinggung soal operasi Tinombala yang digelar selama bertahun-tahun dengan logistik yang melimpah, pasukan yang terlatih dari Brimob hingga

Kopassus, serta didukung oleh adanya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan dukungan politik yang cukup, akan menjadi tanda tanya mengapa membutuhkan waktu

bertahun-tahun untuk memburu kelompok teroris yang diperkirakan hanya beranggotakan 10 orang saja.

"Dengan logistik melimpah dan dukungan politik yang cukup, bahkan ada BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang juga bekerja di Poso, lantas untuk memburu sekitar 10 orang kenapa jadi berlarut-larut? Kapan saatnya Poso, rakyatnya bisa damai dan normal menjalani hidupnya? Siapa yang peduli?" katanya.

"Ini sekadar hipotesa, perlu elaborasi lebih mendalam biar terang benderang," pungkasnya.