Pro-Kontra 370 Pemuka Agama Menolak Terapi Konversi LGBT
ERA.id - Lebih dari 370 pemuka agama dari seluruh dunia mendesak agar praktik pengubahan orientasi sesual terhadap kaum LGBT dilarang.
Hal ini tertuang dalam deklarasi hasil konferensi Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan (FCDO) Inggris, Rabu (16/12/2020). Para penandatangan banyak yang dikenal sebagai pendukung gerakan LGBT, seperti Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu dan mantan pemimpin Rabbi Irlandia, David Rosen.
Pemerintah Inggris belum merilis detail dari pelarangan tersebut, namun, mereka telah menunjuk sebuah tim riset dan akan membuat kerangka aturannya "sesegera mungkin", demikian seperti dikutip BBC, Rabu (16/12/2020).
Dikenal dengan istilah terapi konversi LGBT, praktik ini mengacu pada segala jenis pendekatan psikoterapi yang berusaha mengubah orientasi seksual seseorang atau menekan identitas gender seseorang. Gampangnya, ini praktik agar seseorang yang menyukai sesama jenis menjadi 'straight'. Metodenya bisa lewat kejutan listrik atau pelajaran agama, hingga praktik terapi pada umumnya yang didesain untuk mengubah orientasi seksual seseorang.
Praktik semacam ini sudah dilarang di Swiss dan beberapa kawasan di Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.
Selama ini di negara yang sudah cukup progresif, umumnya di Eropa, terapi konversi LGBT masih belum dilarang karena ada perdebatan soal praktik apa yang masuk dalam kategori terapi konversi.
Di samping itu, beberapa praktisi terapi LGBT khawatir bakal kehilangan pekerjaan bila layanan terapi mereka dianggap ilegal.
Seperti dilaporkan BBC, seorang terapis mengaku "takut" dengan pelarangan yang bakal dijalankan oleh pemerintah. Ia selama ini bekerja untuk membantu kaum muda 'trans', yaitu yang merasa lahir di tubuh yang salah, untuk bisa menerima apapun gender yang terikat dengan kondisi biologis mereka.
Namun, ketika ia mendorong anak muda tersebut untuk melakukan terapi hormon, ia dituduh melakukan terapi konversi oleh orang-orang tua tertentu. Hal ini tentu saja akan berdampak pada karirnya di masa depan.
"Jika pemerintah benar-benar melarang terapi perubahan gender, mereka perlu menjelaskan definisinya yang jelas, karena hal itu bisa jadi malah memperburuk keadaan, alih-alih membantu, terutama terhadap penyedia layanan bagi kaum trans."
Sebuah survey di tahun 2018 terhadap 108.000 anggota kelompok LGBT di Inggris menunjukkan ada 2 persen dari mereka yang pernah menjalani terapi perubahan gender. Lima persen dari kaum LGBT di Inggris pun mengakui pernah ditawari terapi tersebut.
"Saya mau mereka membetulkan saya," kata Joe Hyman, 28 tahun, pada BBC, yang pernah menjalani terapi perubahan gender.
Hyman mengaku lahir dalam keluarga Yahudi Ortodoks di London. Ia lalu menjalani terapi secara daring dan secara langsung, yang bertujuan mengubah orientasi seksualnya.
"Setelah menjalani terapi itu, saya merasa kosong, tak memiliki orientasi seksual, dan terus-terusan khawatir kalau-kalau saya tidak melakukan hal yang benar," kata dia.
Di sisi lain, banyak kelompok keagamaan berhaluan konservatif tetap ingin praktik terapi perubahan gender dilegalkan. Berdasarkan laporan BBC, argumen mereka adalah bahwa pelarangan hanya akan ikut campur pada kebebasan beragama.
Peter Lynas, Direktur Evanglical Alliance di Inggris, organisasi yang mewakili 3.000 gereja di Inggris, mengatakan bahwa ia mendukung "diakhirinya perilaku ekstrim dan koersif, namun tanpa harus melarang perubahan gender atau konversi, satu hal yang adalah bagian penting dari Kristianitas."
Ia mengatakan bahwa pelarangan berisiko "mengkriminalisasi konselor, pastor, dan bahkan siapapun yang diajak untuk berdoa bersama mereka."