Berbasis Sel Punca dengan Ko-Kultur 3D, Teknologi Baru untuk Rekonstruksi Hati

ERA.id - Hati merupakan organ penting yang memiliki banyak fungsi seperti sintesis protein, biotransformasi obat, dan detoksifikasi. Meskipun memiliki kemampuan regeneratif yang kuat, kerusakan hati yang parah dapat menyebabkan gagal hati. Transplantasi hati, terapi utama untuk gagal hati, memiliki banyak kekurangan, seperti kesulitan dalam menemukan donor yang sesuai, biaya tinggi, dan penggunaan obat imunosupresi jangka panjang, telah menyebabkan tingginya jumlah pasien yang menunggu transplantasi hati.

Banyak terapi alternatif telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini, termasuk transplantasi hepatosit, transplantasi sel punca, Artificial Liver dan yang terbaru adalah Bioartificial Liver (BAL), tetapi tetap memiliki banyak keterbatasan dalam aplikasinya. Semua keterbatasan ini menjadi tantangan untuk merekonstruksi organoid hati yang dapat digunakan untuk bahan BAL, uji obat dan sebagai model memahami patogenese penyakit hati.

"Hati merupakan unit kompleks yang terdiri dari sel parenkimal yaitu hepatosit dan sel non parenkimal. Rekonstruksi organoid hati membutuhkan komponen sel yang mereplikasi lingkungan mikro in vivo hati serta teknik kultur yang dapat mendukung fungsi hati. Ko-kultur hepatosit galur sel stelata hepatika (LX2), sel punca mesenkimal asal tali pusat (UC-MSCs), dan sel punca CD34+ asal darah tali pusat (UCB-CD34+) diharapkan menghadirkan lingkungan mikro yang mirip dengan hati in vivo. Penggunaan UC-MSCs dalam kultur bersama sel parenkimal dan sel nonparenkimal memberikan peluang baru dalam merekonstruksi organoid hati dengan lingkungan mikro yang meniru hati in vivo dan memiliki fungsi hati," jelas Dr. Christine Verawaty Sibuea, M. Biomed dikutip dari ringkasan disertasi yang diterima Era.id.

Organoid hati pada penelitian ini direkonstruksi dari hepatosit, sel stelata hepatika (LX2), sel punca mesenkimal asal tali pusat (UC-MSCs), dan sel punca hematopoiesis asal darah tali pusat (UCB-CD34+). Hepatosit primer tikus, LX2, UC-MSCs dan UCB-CD34+diko-kultur dalam 11 formulasi rasio dan dalam 4 jenis medium kultur untuk memperoleh rasio dan medium kultur optimal. Rasio hepatosit : LX2 : UC-MSCs : UCB-CD34+ dengan rasio 5 : 1 : 2 : 2 yang merupakan rasio optimal, dikultur dalam medium kultur optimal Williams E yang disuplementasi dengan PRP, ITS dan dexamethasone selama 14 hari dan dilakukan analisa morfologi, fungsi hati dan potensi angiogenesis.

"Temuan pada penelitian ini menunjukkan viabilitas organoid hati dapat bertahan hingga hari ke14 dan viabilitas organoid hati jauh lebih baik daripada monokultur. Morfologi organoid berbentuk solid dan bertonjol-tonjol dengan inti-inti sel di permukaan dan sebagian di dalam organoid," jelasnya lebih lanjut.

Ekspresi protein albumin, ekspresi protein GOT dan ekspresi protein CD31 organoid hati cukup stabil hingga hari ke-14 serta jauh lebih baik daripada monokultur. Ekspresi gen Albumin organoid hati meningkat hingga hari ke-14 sedangkan ekspresi gen GOT menurun hingga hari ke-14.

Sekresi urea organoid hati menurun hingga hari ke-5 dan sekresi albumin menurun hingga hari ke7.  Sebagai kesimpulan penelitian organoid hati yang direkonstruksi dari hepatosit primer, LX2, UCMSCs, UCB-CD34+ dengan rasio optimal 5 : 1 : 2 : 2 dalam medium kultur optimal sederhana dan ekonomis Williams E yang disuplementasi PRP, ITS dan dexamethasone, dapat mempertahankan viabilitas dan fungsi hingga hari ke-14.

"Organoid hati penelitian ini dapat digunakan sebagai model untuk uji obat dan dapat dikembangkan untuk menjadi bahan BAL," tutupnya.