Budaya Semau Gue, Jangan Dong!
Di dalam antrean itu, nampak seorang ibu kerepotan karena menggendong anak balita sambil menenteng tas, sedangkan seorang anaknya berdiri sambil memegangi baju ibu tersebut. Saat bus datang, ibu dengan dua anak yang masih kecil itu masuk ke dalam tapi tidak kebagian tempat duduk.
Pada sisi lainnya, seorang perempuan muda duduk di kursi prioritas untuk penyandang disabilitas, lanjut usia, atau orang tua yang menggendong anak. Tapi dia bergeming, sempat tertangkap sedang melirik ke arah ibu yang menggendong anaknya, lalu menunduk sambil terus duduk.
Tawaran untuk ibu tersebut justru datang dari seorang warga negara asing, yang duduk di kursi non-prioritas bersama temannya. Ibu dengan dua anak itu kemudian duduk setelah bertukar senyum dan mengucapkan terima kasih pada WNA yang rela berdiri untuknya.
Pada waktu berbeda, sepasang warga lanjut usia (lansia) yang tampak baru selesai berobat dari RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, berjalan lambat menuju halte transjakarta terdekat. Setibanya di halte, pasangan lansia yang bergandengan itu berdiri antre menunggu bus.
Saat bus tiba, petugas transjakarta berusaha mencari kursi kosong agar pasangan lansia itu bisa duduk selama perjalanan. Tapi, kursi prioritas nampak terisi, di antaranya ditempati anak muda yang sedang tidur.
"Mbak, Mas, yang masih muda tolong kursinya," ujar seorang petugas bus transjakarta, Sabtu pekan lalu.
Baca Juga : Gratifikasi, Budaya atau Kebiasaan?
Kursi prioritas di dalam KRL tujuan Jakarta-Bogor, Rabu (21/3/2018). (Moksa Hutasoit)
Tapi penumpang yang duduk hanya saling lirik, tak bergegas berdiri memberikan tempat duduk kepada yang lebih membutuhkan. Mungkin mereka berharap ada orang lain yang mau berkorban memberikan tempat duduk. Kenapa harus gue?
Setelah berulang kali diingatkan petugas, barulah ada penumpang yang rela memberikan kursinya untuk penumpang lansia tersebut.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, menilai apa yang terjadi di dalam bus transjakarta itu adalah dampak minimnya sosialiasi budaya, nilai, dan norma sosial pada anak muda. Menurut dia, banyak orang tidak peduli dengan kondisi sosial dan budaya yang mungkin asing dengan konsep kolektivitas atau gotong royong hingga membuatnya jadi semaunya sendiri.
"Budaya i don't care with other. Semau gue, emang gue pikirin," kata Soeprapto kepada era.id (20/3/2018).
Selain itu, menurut Soeprapto, sikap tidak peduli bisa timbul karena anak muda tidak paham akan perannya. Sesuai teori sosiologi mengenai status dan peran, status seseorang berhubungan dengan kedudukan pekerjaan, usia, jenis kelamin, dan lainnya. Sehingga tiap individu dituntut menyesuaikan peran dalam tiap kondisi yang dialami.
Lalu sesuai teori sistem atau struktural fungsional yang menyatakan sehebat apapun kita, jangan pernah merasa tidak saling membutuhkan keberadaan pihak lain.
"Anak muda tidak paham tentang apa peran mereka," kata dia.
Menurut Soeprapto, fungsi keluarga perlu dijalankan dengan tepat untuk mengenal budaya dan nilai sosial di masyarakat. Seseorang bisa tidak peduli dengan kebutuhan atau kesulitan sekitarnya karena salah memahami konsep hak asasi atau teori hak.
"Ada fungsi sosialisasi budaya, nilai dan norma sosial; fungsi proteksi; fungsi ekonomi, dan fungsi reproduksi," papar Soeprapto.
Pakar sosiologi, Festinger, menjelaskan seseorang bisa dengan sadar ogah memberikan bantuan padahal mereka tahu dan paham tidak menolong adalah salah, bahkan mengganggu dan merugikan penumpang yang membutuhkan. Menurut dia, dugaan terkuatnya adalah karena tidak ada punishment sehingga tidak perlu menolong.
Tapi, kalau untuk hal kecil saja harus ada punishment, apa kata dunia?