Brazil Jadi 'Pembibitan' Virus COVID-19, Pakar Minta Perhatian Internasional

ERA.id - Wabah infeksi COVID-19 di Brazil kini menjadi ancaman global karena 'membibitkan' kemunculan varian virus yang lebih mematikan, seperti diperingatkan oleh Miguel Nicolelis, pakar neurosaintis dari Duke University.

Dilansir the Guardian, (3/3/2021), Nicolelis mendesak dunia internasional untuk menantang pola penanganan wabah oleh pemerintah Brazil. Ia menyebut kabinet pimpinan Presiden Jair Bolsonaro gagal mengelola wabah, hingga menyebabkan tewasnya lebih dari 250 ribu warga Brazil, alias 10 persen dari angka kematian COVID-19 dunia.

"Dunia harus memprotes keras risiko yang disebarkan Brazil terhadap upaya penanganan pandemi," kata Nicolelis kepada The Guardian.

"Apa gunanya menangani pandemi di Eropa atau Amerika Serikat, jika Brazil terus-menerus menjadi tempat 'pembibitan' virus?"

Menurut dia, yang selama pandemi ini harus mengisolasi diri di dalam flat di Sao Paulo, Brazil tidak hanya negara yang "gagal menangani pandemi". Namun, varian COVID-19 yang berkembang di Brazil pun punya karakteristik yang berbahaya.

"Jika Anda membiarkan virus ini menyebar dalam level setara seperti persebaran di (Brazil), maka Anda sekadar membukakan pintu atas terciptanya mutas baru dan kemungkinan munculnya varian yang lebih mematikan."

Varian COVID-19 Brazil (P1) sendiri dikabarkan telah mengakibatkan keruntuhan sistem kesehatan di daerah Manaus, kota terbesar di wilayah Amazon Brazil. Nicolelis pun menyebut bahwa Brazil adalah "laboratorium terbuka" bagi munculnya varian yang lebih mematikan, dan ini menjadi ancaman serius bagi dunia.

Peringatan dari pakar neurosains ini muncul ketika Brazil tengah memasuki fase paling mematikan selama pandemi di negara tersebut. Pada Selasa, 1.766 kematian akibat COVID-19 terjadi dalam satu hari, sementara di seantero negeri rumah-rumah sakit mulai kolaps satu per satu.

Nicolelis menyebut kegagalan Bolsonaro dalam menimalisasi wabah dan mempercepat program vaksinasi korona menyebabkan negara Amerika Latin berpenduduk paling banyak ini harus berjibaku dengan wabah COVID-19 kemungkinan sampai akhir 2022.

Ia memperkirakan bahwa di bulan Maret angka kematian akibat COVID-19 di Brazil bisa menembus angka 500.000 jiwa. "Prospeknya mengerikan dan tragis," kata dia.

"Dalam perkiraan saya, jika dunia terkejut dengan apa yang terjadi di Bergamo di Talia dan apa yang terjadi di Manaus beberapa pekan lalu, mereka akan lebih terkejut dengan kondisi Brazil bila sesuatu tak segera dilakukan."

Presiden Bolsonaro sendiri merasa "tidak ada satu pun kesalahan sejak Maret tahun lalu" terkait penanganan wabah. Mantan kapten militer berusia 65 tahun itu merasa kebijakannya selama ini dilakukan untuk melindungi ekonomi Brazil.

Namun, eks menteri kesehatan Brazil yang menangani pandemi flu babi 2009, Jose Gomes Temporao, mengatakan kebijakan Bolsonaro sangat lemah. Ia bahkan menyebut hingga hari ini "Brazil tidak punya rencana nasional dalam melawan COVID-19." Temporao menyebut baru 3,3 persen warga Brazil yang sudah divaksin, jauh dibanding 18 persen di Chile yang sama-sama negara Amerika Selatan.

"Menurut saya tidak ada pemimpin lain yang lebih tidak jelas,  ketinggalan jaman, dan berpandangan keliru selain presiden Brazil," kata Temporao. "Sejarah akan mengutuk orang-orang ini."