Aktivis Sayangkan Pelarangan Burka di Sri Lanka, Disebut Ada 'Agenda Rasis'
ERA.id - Langkah pemerintah Sri Lanka membawa pakaian burka sebagai ancaman pada 'keamanan nasional', dan menyebut penggunaan pakaian wanita Muslim ini sebagai bentuk 'ekstremisme beragama', dipandang sejumlah pihak bernada rasis serta bertujuan memecah-belah masyarakat Sri Lanka.
Pada Sabtu, (13/3/2021), Menteri Keamanan Publik Sri Lanka, Sarath Weerasekera, menyatakan telah menandatangani dokumen pelarangan burka, yaitu pakaian Muslimah yang menutupi seluruh tubuh hingga wajah. Sarath juga menyatakan akan melarang aktivitas lebih dari 1.000 sekolah Islami yang melanggar kebijakan pendidikan nasional, seperti dilaporkan Al Jazeera.
Banyak pihak langsung menyatakan ketidaksetujuan atas kebijakan ini.
"Ini adalah agenda kaum rasis," kata Hilmy Ahamed, wakil presiden Dewan Muslim Sri Lanka kepada Al Jazeera. "Mereka berupaya meyakinkan pemeluk Buddha bahwa mereka sedang mengincar kaum Muslim."
Kelompok Buddha mencakup 75 persen dari populasi Sri Lanka yang berjumlah 22 juta jiwa. Sementara itu umat Muslim Sri Lanka berjumlah sembilan persen dari populasi, lebih kecil dari kelompok minoritas Hindu Tamil yang berjumlah 15 persen dari populasi.
Sarath mengatakan bahwa pakaian burka kaum Muslim "memiliki dampak langsung terhadap keamanan nasional". Dokumen tersebut dikumpulkan pada Jumat dan memerlukan persetujuan dari Kabinet dan Parlemen, di mana pemerintah kini unggul dua pertiga total suara.
Pengumuman aturan ini terjadi beberapa pekan menjelang dua tahun peringatan serangan di masa Paskah 2019, peristiwa ketika tiga gereja dan tiga hotel mewah di Sri Lanka diserang dan sedikitnya 269 warga tewas.
Dua kelompok Muslim setempat yang menyatakan bersekutu dengan ISIS didakwa bersalah atas serangan tersebut.
Vraie Cally Balthazaar, aktivis gender di ibukota Colombo, mengatakan bahwa pelarangan burka bakal mempengaruhi kehidupan kaum Muslim di negara tersebut, apalagi setelah pada Maret tahun lalu pemerintah 'memaksa' agar jenazah COVID-19 dikremasi, termasuk jenazah pasien Muslim. Akibatnya, sejak itu ada lebih dari 350 jenazah Muslim yang harus dikremasi, tidak sesuai dengan kepercayaan relijius mereka.
"Saya pikir pembuat kebijakan pelarangan burka tidak sekadar menyasar keamanan nasional atau memikirkan hak kaum wanita. Saya rasa burka sudah menjadi simbol yang ingin dikontrol negara," kata Balthazaar kepada Al Jazeera.
"Setelah menjalani isu kremasi, kami sekarang harus menghadapi ini. Ini berdampak bagi kehidupan umat Muslim, terutama kaum wanita, di negara ini."