Sebulan Penggunaan GeNose, Berapa Orang yang Terdeteksi Reaktif COVID-19

ERA.id - GeNose, alat deteksi virus corona buatan UGM telah resmi diizinkan oleh Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 sebagai syarat perjalanan di kereta api dan bus. 

Sejak sebulan lalu, PT KAI resmi menggunakan GeNose C19 sebagai salah satu opsi atau pilihan syarat pemeriksaan untuk naik kereta jarak jauh.

VP Public Relations PT Kereta Api Indonesia (KAI) Joni Martinus menyebut hanya 1 persen dari 300 ribu penumpang kereta api yang terdeteksi reaktif COVID-19 setelah menjalani pemeriksaan dengan menggunakan GeNose C19. Angka tersebut merupakan data per tanggal 24 Maret 2021.

Layanan tes cepat GeNose C19 telah beroperasi di sejumlah stasiun, yaitu Stasiun Pasar Senen, Gambir, Bandung, Cirebon, Semrang Tawang, Yogyakarta, Solo Bapalan, Surabya Pasarturi, Purwokerto, Madiun, Malang, dan Surabya Gubeng.

"Sampai dengan 24 Maret KAI telah melayani 300 ribu lebih pemeriksaaan Genose C19 di stasiun dengan persentase positif berada di kisaran 1 persen," ujar Joni saat dihubungi ERA.id, Kamis (25/3/2021).

Joni menjelaskan, apabila ada calon penumpang yang hasil pemeriksaan GeNose C19 menunjukan reaktif COVID-19, PT KAI akan mengarahakan orang tersebut untuk isolasi mandiri dan melapor ke puskesmas atau fasilitas layanan kesehatan sesuai domisili. 

Selain itu, petugas keamanan juga akan mengarahkan calon penumpang untuk meninggalkan area stasiun namun tetap melakukan protokol kesehatan 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker).

"Petugas boarding atau petugas keamanan akan mengarahkan calon penumpang ke loket pembatalan yang disiapkan khusus atau pembatalan bisa lewat contact center," kata Joni.

GeNose (Dok. PT KAI)

Terpisah, Kahumas PT KAI Daop 1 Jakarta Eva Chairunisa menjelaskan bahwa penggunaan GeNose C19 hanya merupakan salah satu opsi syarat bagi calon penumpang yang hendak menggunakan kereta api jarak jauh. Selain GeNose C19, calon penumpang juga bisa melakukan swab PCR atau rapid antigen sebelum memulai perjalanan.

Namun, Eva enggan mengungkapan berapa jumlah penumpang yang terdeteksi reaktif dengan GeNose C19. Hanya saja dia mengatakan peminat GeNose C19 lebih tinggi dibandingkan rapid antigen.

"Untuk penumpang yang positif, datanya langsung kami serahkan ke Satgas COVID-19," kata Eva.

Cara Kerja GeNose

GeNose mengidentifikasi virus corona dengan cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC).

GeNose (Dok. UGM)

Seperti dilansir dari situs UGM, VOC terbentuk lantaran ada infeksi Covid-19 yang keluar bersama napas. Orang-orang yang akan diperiksa menggunakan GeNose, terlebih dahulu diminta mengembuskan napas ke tabung khusus.

Lalu, sensor-sensor dalam tabung itu lalu bekerja mendeteksi VOC. Kemudian, data yang diperoleh akan diolah dengan bantuan kecerdasan buatan hingga memunculkan hasil.

Dalam waktu kurang dari 2 menit, GeNose bisa mendeteksi apakah seseorang positif atau negatif Covid-19.

Harga tes Covid-19 GeNose

Satu unit alat GeNose diperkirakan seharga Rp 40 juta. Alat tersebut mampu melakukan sekitar 120 kali pemeriksaan per hari, dengan estimasi per pemeriksaan 3 menit selama 6 jam.

Seperti diketahui, sesuai dengan aturan dari Kemeneterian Perhubungan, syarat bagi pelaku perjalanan adalah dengan melampirkan hasil swab test PCR, rapid antigen atau GeNose C19. Untuk layanan GeNose C19, PT KAI mematok harga Rp30.000.  

Berapa Tingkat Akurasi GeNose?

GeNose diklaim memiliki tigkat akurasi hingga 97 persen. Namun, epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, GeNose bisa saja digunakan untuk deteksi cepat COVID-19, tapi penggunaan alat itu harus dalam proporsi yang tepat. 

"Tidak bisa serta merta langsung dijadikan sebagai alat untuk program yang sangat penting saat ini," kata Dicky. 

Menurutnya, teknologi serupa GeNoSe sebenarnya telah dikembangkan lama di sejumlah negara untuk mendeteksi penyakit, seperti kanker dan diabetes. 

Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satu pun negara yang menggunakannyauntuk mendeteksi Covid-19.

"Dalam kondisi seperti ini kita jangan terburu-buru, sehingga bukannya meningkatkan respons terhadap pandemi, justru malah kontraproduktif," ucap dia.