Film Musikal 'Wings of Songs', Tepisan China Soal Isu Penindasan Etnis Uighur
ERA.id - Sebuah film musikal dengan gaya terinspirasi film blockbuster 'La La Land' tayang di bioskop-bioskop China seraya menggambarkan suasana daerah Xinjiang yang multikultural dan bebas dari pengekangan terhadap kaum etnis Uighur yang memadati kawasan tersebut. Tapi langkah ini dituduh sekadar gimmick tim public relations (PR).
Film 'The Wings of Songs' menjadi satu aksi branding terkini dari Beijing - menyusul perilisan lagu rap hingga pameran fotografi - guna mengontrol persepsi masyarakat terhadap daerah Xinjiang yang ada di sebelah barat laut China. Selama ini Amerika Serikat dan pemerintahan Barat menuduh China melancarkan upaya pemusnahan (genosida) terhadap populasi etnis Uighur di kawasan tersebut.
Tuduhan praktik perbudakan dan kerja paksa di industri kapas Xinjiang juga menuntun sejumlah merek ternama, dari Nike hingga H&M, untuk berhenti mengimpor bahan kapas dari kawasan itu.
Beijing sendiri sejak awal menepis tuduhan tersebut dan justru berdalih Xinjiang adalah "surga ketentraman sosial dan kemajuan ekonomi", utamanya berkat langkah-langkah yang jitu dari pemerintah seperti dilaporkan The Guardian.
Hidangan Layar Lebar
Film the Wings of Songs sendiri berfokus pada tiga pria dari kelompok etnis berbeda, yang menimba inspirasi musikal dari budaya masing-masing. Tinggal di daerah berbeda, mereka sama-sama memiliki mimpi besar.
Media nasional China, Global Times, melaporkan bahwa film musikal 'La La Land' telah menjadi "inspirasi studio-studio di China" untuk memproduksi lagu-lagu hits seperti di Hollywood.
Sayangnya, sebut The Guardian, "film musikal itu menghilangkan aspek kamera pengintai dan pos keamanan yang biasanya meliputi daerah Xinjiang."
"Yang juga hilang adalah pembahasan mengenai kultur Islam - meski lebih dari setengah populasi Xinjiang adalah kaum Muslim - dan (di dalam film) tidak terlihat adanya masjid atau wanita berkerudung."
Di salah satu adegan bahkan seorang karakter utamanya, warga Muslim Uighur, tampak sedang bersulang minum bir.
Berdasarkan laporan kelompok advokasi HAM, di Xinjiang sendiri ditengarai ada satu juta warga Uighur dan kelompok etnis lainnya yang ditahan di dalam sejumlah kamp tertutup. Di sana, kaum wanita diduga menjadi korban sterilisasi reproduksi dan kerja paksa, demikian dilaporkan The Guardian.
Beijing awalnya menepis fakta ini, namun, belakangan berdalih bahwa kompleks-kompleks tersebut sekadar menjalankan program pelatihan.
Maret lalu, Inggris, Uni Eropa, AS hingga Kanada, menerapkan sanksi terhadap pejabat senior China yang dituduh terlibat dalam upaya kerja paksa terhadap warga Uighur di Xinjiang.
China pun balik membalas dengan memasukkan beberapa anggota parlemen Inggris dan Eropa, serta sejumlah organisasi penelitian, ke dalam daftar hitam.
Propaganda
Di luar aksi balas-membalas antara China dan pemerintahan Barat, produksi semacam film 'The Wings of Songs' disebut-sebut ditempatkan sebagai upaya kontrol narasi internal untuk masyarakat China, seperti disebut Larry Ong, peneliti di firma konsultan SinoInsider.
Ong berpendapat bahwa Beijing "tahu kebohongan yang diulang-ulang ribuan kali akan berubah menjadi kebenaran."
Dan tampaknya rencana ini berhasil. Seperti dilaporkan oleh agen berita Agence France-Presse (AFP), warga mengaku film 'the Wings of Songs' benar-benar merepresentasikan suasana kawasan Xinjiang di mana "orang-orang hidup dengan bahagia, bebas, dan terbuka".
Di media sosial Weibo, warga China ikut merundung merek fesyen Barat yang menarik dukungan mereka terhadap industri di China.
Lagu rap yang dirilis pekan lalu di China juga menyebut bahwa "orang-orang Barat" menyebarkan "kebohongan" terkait industri kapas di Xinjiang.
Dan lagi-lagi, satu jurnalis BBC John Sudworth dikabarkan buru-buru melarikan diri ke Taiwan. Ia harus melakukan hal tersebut karena mengaku "diintimidasi" setelah melakukan reportase terkait praktik perkebunan kapas di Xinjiang itu.