Massa Buruh Bawa Tiga Tuntutan ke DPR
Ketua umum FSP LEM SPSI, Arif Minardi mengatakan, mereka membawa tiga tuntutan. Pertama, menolak Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang tenaga kerja asing (TKA). Menurut Arif, FSP Presiden Jokowi terlalu tergesa-gesa menandatangani Perpres tersebut.
Untuk itu, Arif meminta agar Perpres tersebut dicabut. Sebab, hal itu bisa merugikan kaum buruh saat ini dan generasi mendatang.
Baca Juga : Harapan Buruh Honorer Jadi PNS
Massa buruh dari FSP LEM SPSI. (Mery/era.id)
"Pasal-pasal dalam Perpres selain mencederai SDM Nasional, itu juga melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Untuk itu, FSP LEM SPSI mengajak masyarakat untuk menggugat Perpres tersebut kepada MK," kata Arif di depan Gerbang Utama DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/5/2018).
Baca Juga : Sindiran Buruh Lewat Poster Dilan
Kedua, FSP LEM SPSI juga menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Arif meyakini, bahwa perlu peningkatan pendapatan pekerja atau butuh dari upah yang diterima di perusahaan.
"FSP LEM SPSI menuntut Presiden untuk segera mencabut PP nomer 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, karena ini sudah bertentangan dengan konstitusi, melibatkan pekerja atau buruh dalam, setiap kebijakan perburuhan yang akan dikeluarkan, dan membuat undang-undang Pengupahan Nasional," jelasnya.
(Infografis/era.id)
Terakhir, pihaknya juga menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kata dia, draf yang beredar selama ini walaupun masih belum resmi, terlihat ada keinginan untuk mendegradasi beberapa pasal yang tidak menguntungkan buruh.
"Revisi Undang-Undang 13 Tahun 2003 masih banyak kontroversi dan kepentingan para pihak yang berpotensi terjadinya tarik menarik kepentingan yang ujungnya akan menghasilkan revisi Undang-Undang yang akan merugikan pihak buruh," tuturnya.
Aksi di depan Gedung DPR ini rencananya juga akan dihadiri oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah; mantan Ketua MPR Amien Rais; anggota DPR RI di antaranya Muhammad Syafii, Jazuli Juawini, Dede Yusuf, dan Politikus Partai Gerindra Ferry Juliantono.