Tragedi Pembunuh Berantai Lewat Aplikasi Kencan, Kini Dijatuhi Hukuman 160 Tahun Penjara
ERA.id - Seorang terpidana pembunuh berantai berusia 25 tahun dijatuhi hukuman 160 tahun, Rabu (6/10/2021). Tersangka melakukan aksi pembunuhan dengan memakai aplikasi kencan untuk memikat para korbannya.
Khalil Wheeler-Weaver tak mampu berbuat apa pun dan hanya duduk terdiam di ruang sidang dangan tangan tergenggam di pangkuannya. Seorang korban juga turut hadir di persidangan dan memberikan kesaksiannya atas apa yang dilakukan oleh Wheeler.
"Seluruh hidup saya berbeda. Saya tidak memakai riasan lagi, saya tidak punya teman, saya selalu paranoid. Tapi saya senang masih berada di sini. Saya harap Anda tidak menunjukkan penyesalan apa pun padanya, karena dia tidak menunjukkan penyesalan apa pun," kata Tiffany Taylor, salah satu korban dikutip Washington Post, Jumat (8/10/2021).
Taylor diketahui sebagai satu-satunya korban hidup dari serangan yang dilakukan Wheeler-Weaver pada November 2016. Dari September hingga Desember tahun itu, pria berusia 20 tahun itu secara brutal memperkosa dan membunuh tiga wanita.
Wheeler-Weaver dihukum pada 2019 atas tiga tuduhan pembunuhan dan juga dinyatakan bersalah atas penculikan Taylor, serangan seksual, dan percobaan pembunuhan.
Pada hari Rabu, seorang hakim Pengadilan Tinggi New Jersey memvonisnya 160 tahun penjara.
"Tujuan dari hukuman ini adalah agar terdakwa tidak pernah bebas lagi di masyarakat. Terdakwa ini sama sekali tidak memiliki penyesalan," kata Hakim Mark Ali.
Dalam sebuah pernyataan di pengadilan pada hari Rabu, Wheeler-Weaver mempertahankan ketidakbersalahannya dan mengklaim bahwa dia dijebak atas pembunuhan tersebut.
"Saya merasa simpati kepada para korban. Hati saya untuk keluarga dan teman-teman mereka. Namun, saya bukan orang yang melakukan kejahatan ini," kata Wheeler-Weaver.
Seluruh Korban Wanita Kulit Hitam
Jaksa mengatakan semua korban Wheeler-Weaver adalah wanita kulit hitam yang rentan yang telah terlibat dengan pekerjaan seks dan berurusan dengan masalah kesehatan mental atau ketidakstabilan perumahan.
Wheeler-Weaver menargetkan sebagian besar dari mereka melalui aplikasi kencan. Korban pertamanya adalah Robin West dari Philadelphia yang berusia 19 tahun. Robin ditemukan tewas dan terbakar di sebuah rumah kosong di Orange, NJ, September 2016.
Tubuh Robin hangus terbakar sehingga penyidik membutuhkan waktu dua minggu untuk mengidentifikasinya menggunakan gigi. Robin diketahui meninggal dunia beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-20.
Satu bulan kemudian, korban kedua bernama Joanne Brown dari Newark dinyatakan hilang selama lebih sebulan. Wanita 33 tahun itu akhirnya ditemukan tewas dengan selotip menutupi mata dan mulutnya serta jaket yang diikat di lehernya. Sama seperti Robin, tubuh Joanne ditemukan di sebuah rumah kosong di Orange.
Korban Selamat Beri Kesaksian
Kemudian korban ketiga sekaligus korban satu-satunya yang selamat adalah Tiffany Taylor, yang merupakan mantan pekerja seks. Taylor yang tidak memiliki rumah diketahui sedang hamil beberapa bulan.
Taylor mengatakan bahwa dia bertemu dengan Wheeler-Weaver lewat perantara temannya. Hingga akhirnya pada suatu malam dia dijemput oleh Wheeler-Weaver. Saat tiba menjemput, tersangka memakai satung tangan dan topeng.
"Itu adalah hal terakhir yang saya ingat. Kemudian saya terbangun di kursi belakang dan saya dicekik dan diperkosa dari belakang dan kemudian dia mencekik saya lagi dan saya pingsan," kata Taylor.
Wheeler-Weaver diketahui mengulangi tindakan itu beberapa kali lagi. Dia kemudian memborgolnya dan melilitkan lakban di wajahnya. Tapi Taylor berhasil melepaskan selotip dari mulutnya dan dia melepaskan tangannya dari borgol.
Taylor yang dalam keadaan terdesak berusaha untuk menyembunyikan tangannya dari Wheeler-Weaver. Taylor kemudian membujuk tersangka untuk kembali ke motelnya dan meminta bantuan kepada teman-temannya.
"Saya tidak berencana untuk mati hari itu. Setiap pikiran saya adalah untuk pergi," katanya.
Ketika Wheeler-Weaver menunggu di depan kamar motel, dengan sigap Taylor menghubungi temannya di dalam kamar dan menceritakan apa yang terjadi. Sayangnya Wheeler-Weaver mulai curiga dan menggedor pintu kamar dan kemduian Taylor melarikan diri.
Korban Terakhir Curiga
Setelah bebas dari penjara usia laporan Taylor, Wheeler-Weaver kembali beraksi. Kali ini dia membunuh seorang mahasiswa berusia 20 tahun, Sarah Butler. Diketahui mereka bertemu lewat aplikasi media sosial Tagged dan tersangka menawarkan bayaran sebesar 500 dolar (Rp7 juta) untuk melakukan hubungan seks.
Namun Butler menaruh curiga kepada tersangka. Butler bahkan mengirimkan pesan dan menanyakan tentang pembunuh berantai.
"Kamu bukan pembunuh berantai, kan?" tanya Butler saat itu.
Setelah bertemu dengan tersangka, Butler diketahui menghilang selama lima hari. Saudara perempuan dan teman-temannya pun mencoba untuk meretas akun Tagged-nya dan menemukan bukti pesannya dengan Wheeler-Weaver.
Mereka pun memancing Wheeler-Weaver dengan membuat akun palsu dan memikatnya serta mengajaknya bertemu di Penera Bread. Saat itu polisi datang dan menanyainya, tetapi tidak melakukan penangkapan.
Pada 1 Desember, polisi menemukan tubuh Butler yang ditutupi dedaunan dan tongkat di sebuah cagar alam. Lima hari kemudian polisi menangkap Wheeler-Weaver dan menjeratnya atas kasus pembunuhan melalui bukti data ponsel, pesan teks, dan pencarian Google, yang membuktikan pergerakannya.
"Robin Daphne Michele West tidak dan saya ulangi tidak pantas dicekik dan dibakar untuk ditinggalkan di sebuah rumah, dengan berat lebih dari 60 pon karena kehancuran api itu," kata ibu Robin, Anita Mason.
"Apakah dia hidup? Apakah dia berkelahi? Apa kata-kata terakhirnya?" lanjutnya.
Sementara ayah Butler, Victor, memohon kepada hakim untuk menjatuhkan 'hukuman maksimum terlama'.
"Dan saya berharap dia hidup untuk waktu yang sangat lama dan mereka membuatnya menderita setiap malam di sana seperti dia membuat gadis kami menderita," katanya, dikutip NJ.com, Jumat (8/10/2021).
Ayah Butler kemudian berbalik dan menatap Weaver.
"Saya harap Anda menderita, Nak, setiap malam," tutupnya.