Mendorong Lahirnya UU Anti-terorisme Berbasis HAM
Komnas HAM meminta sistem peradilan pidana (SPP) dalam penanganan tindak pidana terorisme yang mengedepankan proses hukum yang akuntabel dan menjunjung tinggi HAM, termasuk soal jangka waktu proses hukum dan lokasi penempatan pelaku tindak terorisme yang jadi tangkapan kepolisian. Komnas HAM menekankan waktu tujuh hari sebagai titik kompromi. Sebab, dalam UU yang berlaku saat ini, 14 plus tujuh hari proses penegakan hukum pascapenangkapan sangat rawan dengan terjadinya pelanggaran HAM.
“Total 21 hari Komnas HAM RI menilai hal tersebut sangat rawan terjadinya pelanggaran HAM. Titik kompromi adalah selama tujuh hari, sesuai UU Nomor 15 Tahun 2003 yang didasarkan pada alasan yang layak dan harus bergantung pada kompleksitas perkara, tingkah laku terdakwa dan kerajinan atau ketekunan (diligence) aparat penegak hukum yang bersangkutan," ungkap Anggota Komnas HAM, Choirul Anam dalam siaran pers yang diterima era.id, Senin (14/5/2018).
Hal lain yang menjadi perhatian bagi Komnas HAM adalah soal lokasi penahanan pelaku tindak pidana terorisme oleh aparat kepolisian. Komnas HAM mendorong agar lokasi penahanan dapat diberitahukan, untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan serta akses keluarga atau kuasa hukum.
Baca Juga : Elite Parpol Desak DPR Selesaikan UU Terorisme
Sebelumnya, anggota panja revisi UU Anti-terorisme Arsul Sani menyebut, RUU Anti-terorisme akan dibahas pascareses DPR berakhir pekan ini. Meski belum ditentukan tanggal pastinya, namun, Arsul berharap, pembahasan RUU tersebut dapat dilakukan pekan depan.
"Kelanjutan pembahasan pada pekan depan kami harapkan. Dari koalisi parpol pendukung pemerintah lebih untuk mendorong UU (Anti-terorisme) ini diselesaikan DPR daripada melalui perppu," kata Arsul.
Baca Juga : DPR Segera Selesaikan UU Anti-terosisme
Infografis (era.id)