Pelibatan TNI Tangani Terorisme Berpotensi Maladministrasi

Jakarta, era.id - Komisioner Ombudsman RI, Adrianus Meliala, menyebut pihaknya senang ketika semua otoritas berwenang mempercepat proses Revisi Undang-Undang (RUU) Antiterorisme. Namun, ia menyebut pelibatan TNI untuk membantu kepolisian menangani aksi teror bisa berpotensi maladministrasi.

"Jangan kemudian titik tekannya lain. Titik tekannya adalah tadi soal penggunanaan kewenangan baru bukan pada pelibatan TNI. Karena ini unsur di mana Ombudsman ingin bicara, jangan-jangan pelibatan TNI itu mengundang mal baru," kata dia di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, (15/5/2018).

Ia menilai, revisi tersebut diperlukan dalam penanganan terorisme agar para penegak hukum dapat menggunakan data intelejen untuk mengawasi dan menangkap para pelaku teror--sebelum mereka melancarkan aksinya.

Namun, mantan Komisioner Kompolnas itu mengingatkan, bila TNI memang akan dilibatkan maka harus jelas pembagian tugasnya agar tidak berakhir dengan permasalahan baru saat Undang-Undang tersebut diketok.

Baca Juga : Wiranto : TNI Harus Dilibatkan Menanggulangi Terorisme

(Ilustrasi: era.id)

"Makanya mesti clear pelibatannya dalam hal apa, rambu-rambunya apa, sampai batas mana atau dalam bahasa teknis rule of engagement-nya harus beres. Bukan ujug-ujug pelibatan," jelasnya.

Baca Juga : Jokowi Akan Keluarkan Perppu Anti-Terorisme

DPR melalui panitia khusus (Pansus) Antiterorisme merevisi RUU Antiterorisme sejak April 2016 lalu. Namun, hingga saat ini RUU tersebut belum juga diparipurnakan untuk disahkan menjadi UU Antiterorisme.

Lalu, apa bedanya UU yang lama dengan RUU Antiterorisme yang tengah digodok oleh DPR bersama pemerintah? Ternyata ada delapan pokok pikiran yang krusial di RUU Antiterorisme.

Pertama, dalam rancangan RUU Antiterorisme yang baru terdapat adanya definisi teroris dengan sebutan "Ancaman" kekerasan. Jadi, seseorang yang diduga pelaku baru ngancam saja sudah bisa disebut teroris. Kedua, anak-anak dan remaja bisa didefinisikan sebagai teroris jika terlibat aksi yang berhubungan dengan teroris. Jadi tidak lewat Pengadilan Anak lagi.

Baca Juga : DPR Segera Selesaikan RUU Anti-terorisme

(Infografis/era.id)

Kemudian, yang ketiga, terduga teroris dapat ditahan selama 30 hari dari 7 hari UU teroris yang berlaku saat ini. Keempat, aparat penyidik dapat melakukan penyadapan hanya dengan izin atasan yang bersangkutan dan Kominfo. Di UU teroris yang ada sekarang penyadapan harus izin ketua PN (wewenangnya sama dengan KPK).

Baca Juga : Elite Parpol Desak DPR Selesaikan UU Terorisme

Kelima, penyidik atau Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat membawa pelaku terduga teroris ke sesuatu tempat tertentu (tidak jelas) dalam rangka penanggulangan max enam bulan, pokoknya tidak ada yang tahu akan dikemanain.

Keenam, RUU Antiteroris akan melibatkan TNI dan BIN sebagai unit kesatuan tersendiri di luar Polri yang mempunyai wewenang menangani terorisme, jadi nanti akan ada tiga institusi.

Ketujuh, BIN memperoleh penambahan wewenang yaitu bisa menangkap dan menginterogasi pelaku teroris. Terakhir, Densus 88 memperoleh penambahan wewenang juga dibidang pencegahan dan penindakan detailnya akan ditentukan kemudian.

Tag: teroris teror bom di as