Seluk-beluk Rekrutmen Teroris di Indonesia
Perekrutan diawali dengan penanaman ideologi kepada calon teroris melalui interaksi tatap muka. Belakangan penyebaran ideologi juga dilakukan melalui media sosial. Namun, hal itu jarang terjadi karena rentan terdeteksi.
"Kalau secara terbuka dengan model pertemuan dan pemberian kajian, mereka sudah tidak bisa melakukan itu lagi sekarang," kata Haris kepada era.id, Rabu (16/5/2018).
Haris menambahkan, dalam perekrutan anggota baru, organisasi teroris tidak memberi kelas antara orang berpendidikan dan tidak. Semua golongan bisa dibentuk menjadi teroris.
Baca Juga : Surat Ancaman Teroris yang Tewas di Mapolda Riau
(Infografis/era.id)
Terorisme yang terjadi saat ini, lanjut dia, memiliki perbedaan afiliasi--visi dan tujuan--dengan terorisme yang terjadi saat bom Bali tahun 2005. Pada 2005 lalu, kelompok teroris berafiliasi dengan kelompok Al-Qaeda di Irak, sedangkan saat ini lebih mengarah pada kelompok radikal ISIS di Suriah.
Baca Juga : Mengawal Kelanjutan Hidup Anak-anak Pelaku Teror
Haris menyebut, kelompok Al-Qaeda lebih menyasar pada Amerika Serikat (AS) sebagai musuh utama. Sedangkan ISIS memerangi semua kalangan, karena tujuannya adalah mendirikan negara Islam. Meski demikian, Haris membantah jika aksi terorisme berkaitan dengan agama tertentu.
Mengenai metode perekrutan, baik terorisme era Amrozi Cs--pelaku bom Bali--dengan kelompok teroris yang berkembang saat ini tidak memiliki perbedaan berarti.
"Perekrutan sama saja. Namanya gerakan bawah tanah perekrutannya sama, pendekatan personal, kawan, keluarga, dan lain-lain," ucap Haris.
Baca Juga : Ironi Pelibatan Satu Keluarga dalam Serangan Bom Surabaya
(Ilustrasi/era.id)
Baca Juga : Fakta yang Terungkap dari Bom Surabaya
Dalam melaksanakan perekrutan, organisasi teroris menjual gagasan dan argumentasi untuk menarik hati calon target. Jika targernya muslim, maka pendoktrinan akan mengambil ayat-ayat Alquran yang sudah mereka tafsirkan sesuka hati.
"Yang salah itu bukan ayatnya, tapi teks-teks yang sudah ditafsirkan untuk disusupi ke target," kata Haris.
Mengenai aksi bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya dilakukan oleh Ketua JAD Surabaya, Haris meyakini tidak ada ketentuan jika senior dalam organisasi tersebut yang harus melakukan aksi bunuh diri. Pemilihan bomber atau pengantin (sebutan untuk bomber) tergantung tingkat keyakinan pengikut organisasi tersebut, bukan senioritas.