Buntut Kasus Pemerkosaan Santriwati, Kemenag Tutup Pesantren Milik Herry Wirawan Hingga Fasilitasi Pendidikan Korban
ERA.id - Kementerian Agama (Kemenag) telah mencabut izin operasional pesantren Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru. Lembaga pendidikan itu milik Herry Wirawan pelaku pemerkosaan sejumlah santrinya yang terletak di Bandung.
"Kemenag sudah mencabut izin operasional pesantren Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kemenag memberikan afirmasi terhadap peserta didik dan korban," ujar Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (12/12).
Menurut Zainut, seluruh santri yang menempuh pendidikan di pesantren Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru sudah dipulangkan supaya dapat melanjutkan pendidikan di sekolah umum atau pun Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren sesuai pilihannya. Kemenag membantu memfasilitasi para santri.
"Upaya ini difasilitasi oleh Kementerian Agama kabupaten/kota sesuai domisili mereka," kata Zainut.
Ke depannya, Kemenag akan bekerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk membantu memberikan pendampingan terhadap korban. Selain itu, pihaknya juga mendorong optimalisasi peran Dewan Masyayikh dalam mengawal penjaminan mutu pesantren, termasuk aspek perlindungan santri.
"Kemenag akan bersinergi dengan KPAI untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual," tegas Zainut.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut, para santri yang menjadi korban pemerkosaan oleh Herry Wirawan saat ini kesulitan mendapatkan sekolah untuk menlanjutkan pendidikan. Mereka ditolak dengan alasan perbedaan kurikulum, padahal para korban masih di bawha umur dan membutuhkan pendidikan.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar mengaku, hal itu merupakan informasi terbaru yang didapat oleh pihaknya. Padahal, LPSK ingin memastikan para korban bisa kembali ke sekolah.
"Karena informasi terakhir yang kami dapatkan adalah ada sekolah-sekolah yang menolak. Menolak karena kurikulumnya tidak sesuai dengan kurikulum sekolah biasa dan lagi juga masalah administrasi dan sebagainya," kata Livia dalam acara diskusi daring, Minggu (12/12).
Livia mengaku LPSK sudah menyampaikan masalah ini kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk segera ditindaklanjuti. Informasi itu juga disampaikan LPSK kepada Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto yang juga hadir dalam acara diskusi, agar mendapatkan bantuan dari parlemen.
Selain karena alasan perbedaan kurikulum, sejumlah sekolah juga dikabarkan menolak lantaran mengetahui calon siswa tersebut merupakan korban pemerkosaan.
Livia menegaskan, kejadian yang dialami para korban menciptakan trauma yang sangat panjang dan memerlukan bantuan masyarakat untuk memulihkannya. Oleh karena itu, dia berharap masyarakat ikut membantu, bukan justru menghukum para korban misalnya dengan membatasi akses pendiidikan.
"Saya dengar-dengar lagi juga ada berita bahwa mereka ini korban. Jangan sampai kemudian kita menghukum anak-anak yang tidak bersalah ini," kata Livia.
Untuk diketahui, seorang guru pesantren bernama Herry Wirawan diketahui memperkosa puluhan orang santrinya. Akibat perbuatannya itu, sejumlah korban mengalami kehamilan hingga melahirkan.
Herry dikatakan tidak hanya melakukan pemerkosaan tetapi juga melakukan eksplitasi anak-anak. Sejumlah bayi yang dilahirkan dieksploitasi sebagai alat meminta sumbangan, korban juga dipaksa menjadi kuli bangunan untuk membangun ruang pesantren miliknya.
Pelaksana tugas Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan Herry kini berstatus sebagai terdakwa karena sudah menjalani persidangan. Terdakwa dijerat Pasal 81 UU Perlindungan Anak.
"Ancamannya 15 tahun, tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," kata Riyono.