Korban Kekerasan Seksual Mencari Keadilan, Komnas Perempuan Hingga ICJR Kecewa RUU TPKS Gagal Diparipurakan DPR RI
ERA.id - Sejumlah elemen masyarakat kecewa dengan sikap DPR RI yang tak mengagendakan penetapaan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai usul inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan II DPR RI Tahun Sidang 2021-2022 pada Kamis (16/12/2021).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan, RUU TPKS sudah sangat dinanti masyarakat Indonesia. Terutama para korban kekerasan seksual, keluarga korban, dan para pendamping korban.
"Komnas Perempuan sangat menyayangkan RUU TPKS belum ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI pada penutupan sidang paripurna. Padahal, penetapan ini dinanti oleh rakyat Indonesia khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual, keluarga korban, dan pendamping korban," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada wartawan, Jumat (16/12/2021).
Siti berharap dan mengajak berbagai elemen masyarakat untuk terus mengawal serta mendorong Badan Musyawarah (Bamus) dan pimpinan DPR RI untuk menetapkan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI di awal pembukaan sidang paripurna tahun 2022.
Siti menegaskan, RUU TPKS mendesak untuk segera dibahas dan disahkan. Sebab, rancangan perundang-undangan tersebut dapat menjadi langkah pasti bagi para korban kekerasan seksual yang selama ini sulit mendapatkan keadilan.
"Mendorong Badan Musyawarah dan Pimpinan DPR RI menetapkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai RUU Inisiatif DPR dalam pembukaan masa sidang paripurna DPR RI Januari Tahun 2022," tegas Siti.
"RUU ini merupakan titian langkah untuk mewujudkan perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual," katanya.
Kekecewaan juga disuarakan oleh ICJR, IJRS, dan PUSKAPA. Mereka menyerukan agar RUU TPKS sesegera mungkin ditetapkan sebagai usulan inisiatif DPR RI pada awal masa sidang tahun depan.
Ketiganya juga mendorong agar pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah dilakukan dengan komprehensif sehingga menghasilkan peraturan yang melindungi korban.
"Pembahasan harus dilakukan dengan semangat mengedepankan kepentingan korban kekerasan seksual dan menekankan perlindungan setiap orang menjadi korban kekerasan seksual," tulis ICJR dikutip dari keterangan tertulisnya.
Lebih lanjut ICJR, IJRS, dan PUSKAPA menyoroti draf RUU TPKS versi Baleg pada 8 Desember 2021. Mereka memberikan tiga catatan yang perlu direspons untuk menjamin penguatan perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia, yaitu pengaturan tindak pidana, pengaturan perlindungan hak korban, dan pengaturan hukum acara.
ICJR, IJRS, dan PUSKAPA menekankan, bahwa RUU TPKS mendesak untuk diselesaikan. Terlebih setelah munculnya banyak kasus-kasus kekerasan seksual.
"Sulitnya korban mendapat ruang aman, adanya ancaman kriminalisasi bagi korban, hingga korban dan keluarga korban sulit mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang komprehensif, maka RUU TPKS semakin dibutuhkan," tegas mereka.
Untuk diketahui, draf RUU TPKS tak diagendakan dalam rapat paripurna penutupan, Kamis (16/12/2021). Alasannya karena Bamus sudah menggelar rapat dan menyusun agenda sebelum Baleg DPR RI mengadakan rapat pleno pembahasan RUU TPKS tingkat pertama pada Rabu (8/12).
Ketua DPR RI Puan Maharani beralasan, hal tersebut hanya masalah waktu. Sebab, belum ada waktu yang tepat untuk menetapkan RUU TPKS sesuai mekanisme yang berlaku.
Puan mengatakan, DPR RI menginginkan draf RUU TPKS ditetapkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sehingga bisa menjaga pelaksanaan dari undang-undang itu berlaku secara baik dan benar.
"Ini hanya masalah waktu, karena tidak ada waktu yang pas atau cukup untuk kemudian dilakuka secara mekanisme yang ada," kata Puan.