KSP: Larangan Eskpor Batu Bara untuk Hadapi Krisis Energi Global

ERA.id - Kantor Staf Presiden (KSP) menilai kebijakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang melarang ekspor batu bara merupakan upaya gotong royong nasional dalam menghadapi tantangan krisis energi yang terjadi di dunia.

“Krisis energi global telah mendorong seluruh dunia berebut sumber energi yang andal termasuk batu bara dari Indonesia. Karena itu kita sebagai bagian elemen negara harus bersama-sama berkontribusi, baik itu pemerintah, masyarakat, PT PLN maupun pengusaha pertambangan nasional,” kata Deputi I Kepala Staf Kepresidenan RI Febry Calvin Tetelepta di Jakarta dikutip dari Antara, Kamis (6/1/2022).

Ia mengatakan instruksi dari Presiden Jokowi untuk mengedepankan pasokan batu bara guna memenuhi kebutuhan domestik merupakan perwujudan amanah konstitusi UUD 1945, dan bentuk konsistensi dalam mencukupi kebutuhan listrik bagi 270 juta rakyat Indonesia.

“Ini gestur asli dari Presiden ketika dia harus berpihak pada kepentingan rakyat,” ujarnya.

Febry juga mengingatkan agar perusahaan tambang tidak melanggar aturan penjualan batu bara untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) sesuai Undang Undang No.3/2020 tentang Mineral dan Batubara, serta Peraturan Pemerintah No.96/2021 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Pemerintah tidak membabi buta melarang ekspor batu bara. Pemerintah mengapresiasi bagi perusahaan yang sudah memenuhi komitmen DMO batu bara, tapi juga tidak segan untuk mencabut ijin perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban DMO itu,” katanya.

Febry menambahkan dalam jangka menengah dan panjang, Presiden Jokowi sudah memerintahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk membangun mekanisme DMO yang permanen guna memenuhi kebutuhan listrik nasional dan adaptif terhadap tantangan krisis energi global.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menghentikan ekspor batu bara periode 1-31 Januari 2022 guna menjamin pasokan bagi pembangkit listrik dalam negeri. Pelarangan ekspor sementara tersebut, berlaku untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, serta PKP2B.