Dapat Perlakuan Rasisme di Perbatasan, Pelajar Asing di Ukraina Sampai Dipaksa Turun dari Bus
ERA.id - Sekelompok pelajar asing mengaku telah mendapat perlakuan rasisme di Ukraina. Mereka dipaksa turun dari bus angkutan umum di sebuah pos pemeriksaan.
Pengakuan ini diungkapkan oleh seorang mahasiswa kedokteran asal Afrika berkulit hitam, Rachel Onyegblue. Rachel bersama pelajar asing lainnya diperintahkan turun daari bus di antara perbatasan Ukraina dan Polandia.
Mereka diinstruksikan berdiri di samping saat bus melaju dengan hanya warga negara Ukraina di dalamnya. Rachel pun terdampar kota perbatasan Shehyni, sekitar 400 mil dari ibukot Ukraina, Kiev.
"Lebih dari 10 bus datang dan kami melihat semua orang pergi. Kami pikir setelah mereka mengambil semua orang Ukraina, mereka akan membawa kami," kata Rachel Onyegbule, dikutip CNN, Selasa (1/3/2022).
Namun sayangnya setelah sekian lama menunggu, bus itu tidak lekas mengangkutnya. Mereka justru diberi tahu untuk berjalan dan tidak ada lagi bus yang bisa mengantarkan mereka.
Akibat tindakan hal itu, mereka pun mengalami kedinginan dan belum tidur selama empat hari. Bahkan dia bersaksi bahwa orang Ukraina jauh lebih diprioritaskan daripada orang Afrika, termasuk pria dan wanita.
"Tubuh saya mati rasa karena kedinginan dan kami belum tidur selama sekitar 4 hari sekarang. Orang Ukraina lebih diprioritaskan daripada orang Afrika, pria dan wanita di setiap titik," ungkapnya.
"Tidak perlu bagi kami untuk bertanya mengapa. Kami tahu mengapa. Saya hanya ingin pulang," tambahnya.
Selain Onyegbule, seorang mahasiswa kedokteran tahun keempat asal India, Saakshi Ijantkar juga turut mengalami hal serupa. Ijantkar mengatakan demi keluar dari Ukraina dia harus melewati tiga pos pemeriksaan.
Tetapi setiap melewati pos pemeriksaan, pemandangan orang terdampar sangat banyak. Bahkan pihak penjaga melarang orang India untuk lewat.
"Ada tiga pos pemeriksaan yang harus kita lewati untuk sampai ke perbatasan. Banyak orang terdampar di sana. Mereka tidak mengizinkan orang India lewat," akunya.
Pos penjegaan itu diketahui mengizinkan 30 orang Inda setelah 500 orang Ukraina masuk ke perbatasan. Selain itu, untuk mencapai perbatasan, harus dilalui dengan berjalan kaki sejauh empat hingga lima kilometer dari pos pemeriksaan pertama ke pemeriksaan kedua.
Bukan hanya itu saja, warga Ukraina yang melintasi perbatasan dari pos satu ke pos dua disediakan taksi dan bus untuk bepergian. Namun semua orang dari negara lain harus berjalan kaki.
"Mereka sangat rasis terhadap orang India dan negara lain," katanya.
Selain itu, Ijantkar juga bersaksi bahwa dia menyaksikan kekerasan dari penjaga kepada para siswa yang menunggu di sisi Ukraina dari perbatasan Shehyni-Medika. Dia juga melihat pria India dibiarkan dalam antrian selama berjam-jam bersama dengan warga negara non-Ukraina lainnya.
"Mereka sangat kejam. Pos pemeriksaan kedua adalah yang terburuk. Ketika mereka membuka gerbang bagi Anda untuk menyeberang ke perbatasan Ukraina, Anda tetap berada di antara Ukraina dan Polandia, tentara Ukraina tidak mengizinkan pria dan anak laki-laki India untuk menyeberang ketika Anda sampai di sana," ungkapnya.
Dikatakan oleh Ijantkar, para penjaga hanya mengizinkan gadis-gadis India masuk sedangkan yang lainnya harus menangis dan memohon di kaki para penjaga demi masuk.
Sayangnya setelah gadis-gadis India masuk, anak-anak lelaki yang masih dalam antrian dipukuli oleh para penjaga. Bahkan seorang pria asal Mesir terlihat didorong ke pagar yang ditutupi dengan paku hingga membuatnya kehilangan kesadaran.
"Kami membawanya ke luar untuk memberinya CPR. Mereka tidak peduli dan mereka memukuli para siswa, mereka tidak mencela kami, hanya orang-orang Ukraina," ucapnya.
Ijantkar mengatakan banyak siswa menunggu setidaknya satu hari, tetapi dia akhirnya kembali ke Lviv karena dia ketakutan, menunggu dalam suhu beku tanpa makanan, air, atau selimut.
"Saya melihat orang-orang gemetar sangat kedinginan, mereka pingsan karena hipotermia. Beberapa mengalami radang dingin dan lecet. Kami tidak bisa mendapatkan bantuan dan hanya berdiri berjam-jam," katanya.
Sayangnya tuduhan itu dibantah dengan tegas oleh juru bicara Layanan Penjaga Perbatasan Ukraina, Andriy Demchenko. Demchenko menegaskan tuduhan pemisahan di perbatasan itu tidak benar. Para penjaga di perbatasan juga telah bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Saya dapat menyatakan bahwa semuanya terjadi sesuai hukum. Sama sekali tidak ada pembagian berdasarkan bangsa, kewarganegaraan, atau kelas di perbatasan," kata Demchenko.
Orang Afrika telah berbagi pengalaman mereka secara online menggunakan tagar #AfricansinUkraine. Kisah-kisah mereka telah memicu protes dan sejumlah seruan crowdfunding telah diluncurkan untuk mencoba membantu mereka yang terdampar di negara itu.
Meski demikian, Onyegbule tidak menyalahkan pihak berwenang Ukraina lantaran memilih untuk memprioritaskan warganya. Dia justru menyalahkan pemerintahnya sendiri lantaran tidak membuat aturan untuk membantu mereka keluar dari Ukraina.
"Pemerintah Nigeria bersikap acuh tak acuh seperti biasanya. Ada banyak dari kita di Ukraina. Mereka tidak bisa meninggalkan kita begitu saja. Ini sangat menyedihkan, tetapi kita sudah terbiasa dengan pemerintahan yang buruk di Nigeria," kata Unyegbule.