Profil Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo yang Gila Buku
ERA.id - Sosok satu ini mungkin cukup asing di telinga anak milenial. Sebab, namanya jarang disebut di buku sejarah sekolah.
Tokoh pahlawan yang kerap disebut berasal dari Sulawesi Selatan ialah Sultan Hasanuddin atau juga sosok yang dihormati dari Kabupaten Bone adalah Arung Palakka.
Akan tetapi, Karaeng Pattingalloang seolah namanya terlewati dari pencatatan sejarah.
Siapakah Karaeng Pattingalloang?
Karaeng Pattingalloang lahir pada 1600 M dan wafat 1654 M.
Sosok yang memiliki nama lengkap I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Syah ini adalah putra dari pasangan permaisuri I Wara’ Karaeng Lempangang dan Raja Tallo ke-6, Karaeng Matoaya alias Sultan Abdullah Awwalul Islam.
Karaeng Matoaya adalah raja Islam pertama Tallo, maka dari itu ia disebut Awalul Islam. Karaeng Matoaya bekerja sama dengan Sultan Gowa, yaitu Sultan Alauddin, untuk menggabungkan dua kerajaan lokal: kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Sultan Alauddin menjadi raja dan Karaeng Matoaya sebagai Mangkubumi yang mengurusi segala urusan.
Pada umur 39 tahun, atau pada 1639 M, Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi raja Tallo yang ke-8, sekaligus menjadi Mangkubumi atau perdana menteri Kesultanan Gowa-Tallo. Ia mendampingi Sultan Malikussaid (raja Gowa ke-15).
Pattingalloang ini memang tokoh penting, sebab Sultan Malikkussaid mengatakan: “Aku [Sultan Malikussaid] hanya mau menjadi raja bila Pattingalloang mendampingi saya memerintah, dan bila dia juga memimpin semua rakyat banyak.”
Malikussaid tahu kemampuan Pattingalloang sehingga ia mau memimpin kesultanan Gowa-Tallo bila mangkubuminya adalah sosok yang cerdas. Dan Malikussaid hanya menyebut satu nama, yaitu Karaeng Pattingalloang.
Gandrung akan Ilmu Pengetahuan
Pertengahan abad ke-17, Makassar adalah bandar paling ramai dan paling kosmopolit. Pusat kerajaan Gowa, Sombaopu, menjadi kota antarbangsa dengan keragaman penduduk yang tinggi. Segala macam manusia melintasi Nusantara, menjadikan Sombaopu sebagai jalur niaga yang padat ketika itu.
Tak terkecuali, pedagang-pedagang dari negeri barat, seperti VOC Belanda. Beberapa puluh tahun, rempah-rempah dari Maluku pun sempat menjadi Makassar sebagai transit perdagangan sebelum kirim ke negeri lain.
Selain perdana menteri, Karaeng Pattingalloang juga seorang pedagang besar. Ia menjalin bisnis dengan Maluku, Portugis, dan Belanda di Batavia. Pun perdagangannya sampai juga ke Manila, Thailand, India, dan semua tempat yang bisa disinggahi oleh armada milik Pattingalloang.
Pattingalloang adalah tokoh terkenal di orang-orang Eropa. Bahkan, ia raja paling terkenal di antara raja lain di Kesultanan Gowa-Tallo.
Itu dikarenakan ilmu pengetahuannya yang tinggi. Orang-orang Eropa berdecak kagum melihat dan mendengar tentang Karaeng Pattingalloang. Sejak usia 18 tahun, ia meminta kepada orang-orang Inggris untuk mengirimkan penemuan terbaru teknologi perkapalan Eropa kepadanya.
Alexander Rhodes, misionaris Katolik, pada 1646 menulis seperti ini: “Karaeng Pattingalloang mengusai semua rahasia ilmu Barat. Sejarah kerajaan2 Eropa dipelajarinya. Ia membaca buku2 ilmu pengetahuan Barat.”
Semangat renaisans dari Eropa sampai ke langit-langit kamar Karaeng Pattingalloang. Ia tidak terkurung di istana. Ia mengembara dengan samudra ilmu pengetahuan yang ia peroleh dari buku-buku. Buku-bukulah yang menghangatkan ruangannya. Ia seorang poliglot. Bahasa Portugis, spanyol, latin ia hajar.
Kekaguman orang-orang Eropa semakin meninggkat kepada Karaeng Pattingalloang ketika ia memesan peta dunia atau globe. Menurut sejarawan, Denys Lombard, Pattingalloang memesan sepasang bola dunia dan langit keliling 157—160 inci.
Jika dikonversi, bola dunia yang ia pesan itu bergaris tengah sekitar 127 cm, akan dua kali lebih panjang garis tengahnya dan empat kali lebih besar volumenya dari bola dunia yang pernah ada. Bola dunia dan langit itu dikerjakan oleh Joan Blaeu dari Belanda.
Selain globe, Pattingalloang juga memesan piranti lain, misal 2 buah teropong berkualitas terbaik dengan tabung logam ringan, 12 prisma segitiga, 3—4 puluh tongkat baja kecil, dan 1 bola tembaga.
Empat tahun kemudian, pada 1648, bola dunia yang dipesannya dari Belanda itu tiba di Makassar di awal tahun 1651. Bola dunia tersebut harus singgah dulu di pelabuhan Batavia.
Penyair mahsyur dari Belanda membuat lirik syair untuk Mangkubumi Gowa-Tallo itu kala mendengar pesanan Karaeng Pattingalloang.
Bola dunia itu, Perusahaan Hindia Timur
Mengirimkannya ke istana Pattingaloang agung
Yang otaknya menyelidik ke mana-mana
Menganggap dunia seutuhnya terlalu kecil
Kami berharap tongkat kekuasannya memanjang
Dan mencapai kutub yang satu dan yang lain
Agar keusuran waktu hanya melenyapkan
Tembaga itu, bukan persahabatan kita.
Pada Agustus 2019, Presiden RI Joko Widodo memberi penghargaan Bintang Budaya Parama kepada sosok Gowa ini. Dengan penghargaan tersebut, Karaeng Pattingalloang resmi menjadi pahlawan nasional.