Negara Islam Indonesia Muncul Lagi, Bukti Tidak Mudah Menumpas Sebuah Ideologi
ERA.id - Akhir Maret 2022, Densus 88 menangkap 16 terduga teroris yang terafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatra Barat. Sesuai keterangan dari Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid bahwa NII merupakan induk dari jaringan teror yang memiliki tujuan akhir mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi atau sistem agama.
NII ialah induk dari semua jaringan teror di Indonesia, di mana tahun 1993 NII mengikuti perkembangan geopolitik global hingga akhirnya pecah menjadi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), tambah Nurwakhid.
Perlawanan atau "pemberontakan" (yang sekarang disebut terorisme) tidaklah datang 10 atau 20 tahun terakhir. Namun, ia hadir bahkan sebelum Indonesia berdiri.
Semasa penjajahan Belanda, banyak kalangan kiai dan umat Islam di daerah melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dari skala kecil hingga besar. Misal, Sultan Agung Mataram (1628—1629), Perang Diponegoro (1825—1830), Perang Padri (1831), Perang Aceh (1881), Bagus Rangin di Cirebon, Haji Wasid di Banten, Haji Hasan Cimareme Garut, Antasari di Kalimantan, Hasanuddin di Makassar.
Semua dipelopori oleh tokoh-tokoh Islam dan beberapa tempat melibatkan institusi Islam seperti pesantren. Perlawanan umat Islam itu disebut sebagai pemberontak atau ekstreamis oleh pihak pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang (1942—1945), Kiai Zainal Mustafa dan para santrinya di Pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, juga melakukan perlawanan kepada penjajah Jepang.
Saat Belanda akan kembali lagi ke Indonesia pada 1945—1949, menurut Usep Romli (sastrawan Sunda) di Pikiran Rakyat, (18 September 2004), mengatakan umat Islam bertekad mempertahankan kemerdekaan, membentuk barisan-barisan perlawanan "Sabilillah" dan "Hizbullah".
Perlawanan itu tidak selesai di situ. Pemerintahan Indonesia yang baru belasan tahun diuji oleh bangsanya sendiri. Di beberapa daerah, ada yang melakukan perlawanan atau pemberontakan kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno.
Di Maluku, ada Dr. Soumokil memimpin Republik Maluku Selatan (RMS) yang didukung oleh Belanda. Abdul Kahar Muzakkar mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII), kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), sehingga dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Sekarmaji Marijan (SM) Kartosoewiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia atau (NII) pada 7 Agustus 1949. Jawa Barat menjadi basis wilayah "Darul Islam". Di Aceh, ada Daud Beureuh.
Di Sumatra Barat, pada 15 Februari 1958, berdiri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Semua perlawanan itu ditumpas oleh Presiden Soekarno. Namun sayangnya, masih bersisa.
Presiden Soekarno tidak pernah main-main dengan para "pemberontak" di daerah-daerah. Salah satu pimpinan "pemberontak" yang ia hajar adalah Imam Negara Islam Indonesia (NII), SM Kartosoewirjo bersama pengikutnya di daerah Gunung Sangkar dan Gunung Geber di Jawa Barat.
Seperti penjelasan di Historia, ketika tertangkap, tubuh Kartosoewirjo tak terawat. Ia kena berbagai penyakit. Badannya kurus. Rambut dan kumisnya memutih. Pengadilan Mahkamah Militer menjatuhkan Kartosoewirjo vonis hukuman mati. Kemudian, ada upaya meminta grasi kepada Soekarno, tetapi permintaan itu ditolak.
Sadjono Kartosoewirjo, anak ketiga SM Kartosoewirjo, mengucap ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 13 Agustus 2019. Namun, semangat yang sudah ditanamkan oleh ayahnya masih berakar di beberapa wilayah dan jutaan umat Islam.
Ketika Reformasi, tindakan terorisme ada di mana-mana. Pemboman hotel dan pos-pos kepolisian menjadi sasaran. Teroris di Poso masih bergerilya di hutan-hutan. Sekarang, di Sumatra Barat, NII muncul lagi dengan semangat seperti SM Kartosoewirjo.