Mudik Bukan Sekadar Pulang Kampung Biasa

ERA.id - Mudik lebaran kali ini lebih mudah daripada mudik tahun 2020 dan 2021, sebab tahun ini COVID-19 telah melandai jauh. Bila diingat kembali suasana tahun 2020, jangankan mudik, terawih saja dilarang oleh pemerintah. Semua gerak dibatasi. Pandemi mengubah semuanya. 

Informasi perihal mudik 2022 sudah diumumkan oleh pemerintah, salah satunya perihal syarat. Syaratnya tetap masih ada, tetapi tidak seketat dua tahun kemarin. Yang paling ditekankan oleh pemerintah bahwa calon pemudik harus menyelesaikan vaksin Booster.

Pada 2020, ketika pandemi masih ganas-ganasnya, tradisi mudik yang mesti pulang secara jasmaniah berubah lewat daring. Istilahnya mudik daring.

Sebelum COVID-19 melanda dunia, khususnya Indonesia, tradisi mudik merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh perantau: perantau yang berada di luar maupun dalam negeri atau perantau di Ibukota Jakarta. 

Polisi mengimbau pengguna kendaraan bermotor saat Pengawasan Pelaksanaan PSBB di perbatasan Depok-DKI Jakarta, Senin (13/4/2020). ANTARA/Muhammad Adimaja/hp. 

Waktunya pun tidak sebarang waktu. Mudik hanya cocok disematkan bagi perantau yang sudah lama (minimal setahun) di kota, lalu pulang ketika mendekati lebaran. Mudik di Indonsia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan, misal menjelang lebaran. 

Momen mudik inilah ada sebuah kesempatan berkumpul dengan sanak saudara yang juga merantau di kota lain. Selain itu, tentu kerinduan bertemu orang tua adalah tujuan utama atau merasakan kembali suasana semasa kecil di kampung halaman. 

Akan tetapi, sejak kapan tradisi mudik ini mulai hadir Indonesia? Dilansir dari laman Kemdikbud.go.id, bahwa kata "mudik" berasal dari kata bahasa Jawa ngoko, yaitu mulih dilik, berarti 'pulang sebentar'. Jika lama tinggal di kota, kemudian pulang ke kampung halaman, tetapi hanya sebentar maka itulah mudik. Namun, seiring waktu mudik hanya diasosiasikan untuk pulang kampung ketika mendekati lebaran. 

Lain hal dengan pendapat dari sejarawan JJ Rizal dalam keterangannya di VOI, bahwa menurutnya mudik sebagai tradisi orang kota. Tradisi mudik berbarengan munculnya kota-kota modern di Indonesia dan gejala urbanisasi abad ke-19. “Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah momen saat kembali ke desa disebut 'mudik'.”

Tradisi mudik juga tak lepas dengan Jakarta yang memiliki gaya magnet sehingga orang-orang datang dari berbagai daerah untuk mempertaruhkan masa depannya. 

Menyimak penjelasan J Kristiadi dalam tulisannya, "Mengulik Sensasi Mudik", di Kompas, 20 Mei 2021, mengatakan tradisi mudik tidak sekadar pulang kampung atau pulang sebentar. Namun, ada muatan spiritualitas menjadikan mudik bernuansa sakral. 

Sehingga menurutnya, "tidak mengherankan para pemudik sering kali nekat melanggar aturan, terkadang brutal bahkan menyabung nyawa, demi mengikuti sensasi mistis serta daya gravitasi relasi magis mereka dengan asal muasal leluhur dan tanah kelahirannya."

Umar Kayam dalam kolomnya berjudul "Mudik-Lebaran”, Majalah Tempo, 18 Januari 1999, berpendapat bahwa "Mudik Lebaran adalah satu gerak eksodus yang spontan dan imperatif dari warga keluarga jaringan yang tercerai oleh gerak pencarian nafkah, yang diilhami oleh bulan Ramadan, untuk menjalani ibadah puasa yang ditutup dengan Idulfitri."

Selain itu, tambahnya, bahwa tradisi mudik lebaran ialah tradisi sesungguhnya karena dia adalah potret dari suatu dialektika-budaya yang sudah berjalan lama sekali, selam berabad-abad.

Menurut Rohman Budijanto dalam Majalah Tempo, 6 Juli 2015, bahwa sejak menjadi sebutan untuk tradisi eksodus tahunan menyambut Lebaran, kata mudik mengalami peningkatan martabat, makin jauh dari makna aslinya, yakni "meng-udik" atau menuju udik. Sebab, katanya, kata "udik" pernah menjadi ejekan untuk orang yang tertinggal atau kampungan. 

Konon, lebih jauh lagi, tradisi mudik sudah ada sebelum zaman Majapahit. Kata Jacob Sumardjo, ahli kajian filsafat Indonesia, keberadaan Islam di Nusantara membawa perubahan. Mudik tidak lagi dilakukan ketika musim panen, tetapi saat menjelang Idulfitri. 

Setarikan nafas dengan ucapan Jacob Sumardjo, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno menyebut, tradisi mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

Pemudik di Stasiun Jatinegara (2011) (Wikimedia Commons)

Mudik bermula dari kekuasaan Majapahit yang luas sampai ke Sri Langka. Jadi, untuk mengamankan wilayah kekuasaan, sang raja menempatkan para pejabat di daerah-daerah. Sesekali, pejabat itu pulang menghadap raja sekaligus mengujungi kampung mereka.

Setiap zaman mudik memiliki makna yang berbeda. Kala kolonial Belanda, awal kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Ketika masyarakat Indonesia dihadapkan dengan COVID-19, segala upaya dilakukan agar bisa “mudik”, seperti menggunakan teknologi HP dan lai sebagainya.

Walaupun begitu, perjumpaan langsung dengan sanak keluarga lebih afdal. Ada kehangatan yang dirasakan. Jika perjumpaan langsung lebih diutamakan, maka transportasi massal mana yang mesti diambil. Ini sesuai preferensi dan kemampuan bujet masing-masing. 

Misal, ada yang menggunakan kapal, kerepa api, pesawat, bus, mobil pribadi, dan motor. Apa pun transportasinya, yang paling utama adalah keselamatan agar bisa berkumpul bersama keluarga di kampung halaman.