Luhut hingga Airlangga Beri Sinyal Harga Solar dan Pertalite Bakal Naik, Pengamat: Bisa Picu Kenaikan Harga
ERA.id - Pemerhati ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai sinyal kenaikan harga BBM makin kuat. Kenaikan harga BBM akan menyulut inflasi dan membebani masyarakat, sedangkan BLT tak bisa jadi solusi.
"Orkestra wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pertama kali didendangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan lalu digelorakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tarif, kini dinyaringkan oleh Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto," tutur Fahmy, Minggu (24/3).
Menurutnya, nyanyian ketiga menteri utama Kabinet Indonesia Maju itu semakin memperkuat sinyal bahwa harga BBM, Pertalite dan Solar, akan segera dinaikkan.
"Wacana kenaikkan harga BBM tersebut seharusnya tidak diumbar di hadapan publik. Pasalnya, wacana kenaikkan harga BBM akan menyulut kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok sebelum BBM dinaikkan," ujarnya.
Kalau harga BBM benar-benar dinaikkan, menurut Fahny, hal itu sudah pasti akan menyulut inflasi dan mempuruk daya beli masyarakat.
"Kenaikkan inflasi itu akan menyebabkan kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok, yang memberatkan beban rakyat utamanya rakyat miskin," ujarnya.
Dengan kondisi itu, Fahmy memperkirakan jumlah rakyat miskin akan meningkat dan rakyat miskin akan menjadi semakin miskin. Pemberian bantuan langsung tunai (BLT) untuk kompensasi penaikkan harga BBM pun tidak akan pernah menyelesaikan masalah penurunan daya beli masyarakat.
"Pasalnya, pemberian BLT terbatas dalam jangka waktu tertentu, sedangkan kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok hampir tidak terbatas," katanya.
Pemerintah, kata Fahmy, selalu berdalih bahwa kenaikkan harga minyak dunia yang mencapai di atas US $100 per barel menjadi alasan utama bagi Pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
"Pemerintah mengatakan apabila harga BBM tidak dinaikkan maka beban subsidi BBM akan menjebolkan APBN," kata Fahmy.
Hanya, menurut dia, pemerintah hampir tidak pernah menyebut bahwa kenaikan harga minyak dunia itu secara stimultan juga akan menaikkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari minyak dan gas (migas).
"Kalau PNBP Migas masih belum mencukupi untuk menambal subsidi, Pemerintah sesungguhnya bisa menggunakan pendapatan windfall dari batubara," ujarnya.
Menurut Fahmy, dengan pendapatan dari PNBP migas dan windfall batubara semestinya sangat mencukupi untuk tetap memberikan subsidi BBM dan tak menaikkan harga BBM.
"Kalau harga BBM harus dinaikkan, besaran kenaikan itu maksimal sebesar Rp. 1.000 per liter yang dilakukan secara reguler, bukan dengan menaikkan sekaligus hingga Rp. 3.500 per liter," imbuhnya.