Haji Bokir: Maestro Topeng Betawi yang Sempat Dilarang Manggung di Taman Ismail Marzuki

ERA.id - Setelah kemunculannya di TVRI pada 1975 dan kerap pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM), nama Bokir semakin terkenal—tidak sebatas di kampung-kampung Betawi, tetapi juga di luar—sebagai pemain lenong dan kemudian menjadi maestro Topeng Betawi.

Masa kecil Bokir banyak dihabiskan bersama kerbau milik ayahnya. Kemahiran Bokir tidak lepas dari latar belakang keluarganya, terkhusus ayahnya, Dji’un, yang juga pemain dan pemimpin grup Topeng Cilasak, Bogor. 

Ibu kandungnya Mak Kinang meninggal dunia saat Bokir masih kecil. Kemudian, ayahnya nikah lagi—dan tidak sempat menyekolahkan Bokir. 

Ketika sedang menggembala kerbau di sawah, Bokir tak segan menyegat anak-anak sekolah yang sedang lewat. “Saya minta diajarin nulis di atas tanah pake jari,” begitu pengakuan Bokir dalam buku Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983—1984 (1984).

Mungkin lembaga sekolah bukan tempat Bokir belajar, pada umur 13 tahun ia direkrut ayahnya untuk main Topeng. Tempaan itu yang kemudian menguji bakat Bokir dalam berkesenian, khususnya di dunia seni Topeng.

Pada 1966, ia mendirikan sekaligus memimpin grup Topeng Betawi Setia Warga. Di usia 50-an, Bokir terbilang sukses. Sebab, ia tampil bersama Setia Warga sekitar 15 kali dalam sebulan. 

Ada waktu-waktu tertentu yang Bokir banyak meraup rezeki, dari hajat nikah, sunatan, hingga peringatan hari-hari besar, misal di bulan Syawal, Haji, dan Maulid. “Udeh jadi kerjaan kite, pigimane lagi,” selorohnya, seperti dikutip dalam Apa dan Siapa.

Perawakannya kurus tinggi. Ketika ia bicara, segera memancing tawa riuh. Tanpa skenario, ide muncul begitu saja. Spontanitas ala pemain lenong. Lugu, mengalir, lancar, dan tentu saja tak memedulikan tata bahasa. 

Bokir tidak sendiri. Pada awal-awal kemunculannya, Bokir bersama rekan sepanggungnya Nasir mendirikan Dangdut Boknas. Setiap Topeng Setia Warga main, Dangdut Boknas juga main. Sekali manggung, bayaranya Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. Transpor, peralatan panggung, dan diesel urusan panitia.

Namun, penentuan harga itu hanya berlaku bagi televisi, radio, dan acara swasta. Untuk di kampung tidak bisa. Kata Bokir, “Berat nentuin tarif, pigimane rundingannya." 

H. Bokir dan Mansyur S dalam “Khana” tahun 1980. (Sumber : Berita Buana, 30 Juli 1980 hal 7 kol 1-2)

Sumber keuangan Bokir tidak dari situ saja, seiring pamornya di dunia seni Topeng, ia digaet menjadi pemain film, pertama kali bersama Benyamin S dalam Duyung Ajaib (1978). Kemudian, Si Ronda Macan Betawi (1978) dan Betty Rencong Slebor (1978).

Bokir banyak main film di tahun 1980-an, dari film Begadang karena Penasaran (1980) hingga Wanita Harimau (Santet II) (1989). Dari film ke film itulah, Bokir sanggup membeli tiga mobil: Jeep Willys. Gaz, dan VW Combi. Dan, di rumahnya juga dipasang telepon—saat itu hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. 

Tidak saja di dalam negeri, Bokir juga sempat main di negeri Jiran Malaysia dan Singapura pada tahun 1982. Film terakhirnya adalah Makhluk dari Kubur (1991), kemudian dari 1993—1995 Bokir main sinetron. Judul sinetron terakhirnya adalah Koboi Kolot.

Pengakuan Bokir di majalah Tempo pada 5 April 1983, ia dilarang tampil di TIM. Namun, pengakuan ini dibantah oleh S.M. Ardan ketika itu sebagai Anggota Dewan Pekerja Harian Pusat Kesenian Jakarta. “Ardan membantah adanya larangan main bagi Bokir di TIM. Ia menyebut justru Bokir yang menolak tampil dikarenakan sibuk main film dan acara lainnya.”

Anggap saja itu bagian dari bumbu-bumbu perjalanan sang maestro, tak lepas dari perdebatan. Toh, sosok yang lahir pada 25 Desember 1923 di Ciomas, Bogor, ini telah menjadi panutan bagi seniman muda, khususnya seniman Topeng Betawi.

Banyak tokoh seniman Betawi hebat lainnya yang Bokir didik, seperti Mandra, Malih Tontong, Mpok Nori, Bolot, dan Omas. 

Sehingga, tidak salah bila banyak pujian untuk Bokir. Misal, pujian itu keluar dari mulut sejarawan cum budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra. Redaksi ERA sempat menghubunginya untuk memberi tanggapan perihal sosok legendaris ini. 

Menurutnya, “Haji Bokir bin Dji’un adalah salah satu tokoh, maestro, dan tonggak penting kesenian Betawi. Khususnya kesenian Topeng Betawi. Sampai saat ini kepiawaiannya dalam berakting belum ada yang menandinginya. Khususnya dalam pertunjukan kesenian Topeng Betawi. Dan sampai saat ini pun, trah almarhum masih menjadi pilar dan panutan bagi seniman muda generasi terkini.”

Posisi Bokir dalam kesenian Topeng Betawi memiliki magnet, tidak saja saat hidup, bahkan ketika ia sudah tiada. “Banyak epigonnya, tetapi belum dapat disejajarkan dengan kepiawaiannya dalam berakting dan memainkan peran-peran protagonis maupun antagonis. Penampilannya dalam tiap pertunjukan selalu optimal,” tambah Yahya. 

Nama Haji Bokir bin Dji'un pun kini diabadikan sebagai nama jalan di Kramat Jati, Jakarta Timur. Tidak saja Bokir, nama tokoh Betawi lainnya juga dijadikan nama jalan, ada Mpok Nori, Haji Darip, Entong Gendut, dan Rama Ratu Jaya.

Jalan Haji Bokir bin Dji'un. (Ilham/ERA.id)

Yahya Andi Saputra yang besar dan hidupnya untuk kebudayaan Betawi menanggapi iniasiatif baik dari Pemerintah Kota Jakarta Timur tersebut. 

“Pokoknya, apreasiasi pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pemberian nama jalan yang mengambil tokoh Betawi patut diacungin jempol 10. Semoga bukan hanya nama jalan yang dibikin, tetapi bagaimana memberi ruang hidup bagi kesenian Betawi di masa-masa mendatang.”

Bokir memang telah tiada sejak 18 Oktober 2002 lalu, tetapi semangat berkeseniannya masih diteruskan oleh anaknya bernama Sabar. Sabar bin Bokir, sang pewaris maestro.