Dampak Krisis Sri Lanka dan Perang Ukraina, Indonesia Dihantui Resesi dan Stagflasi?
ERA.id - Kondisi perekonomian dan geopolitik global pasca COVID-19 masih menyisakan sejumlah tantangan. Mulai dari konflik Ukraina vs Rusia, mundurnya Boris Johnson dari kursi Perdana Menteri (PM) Inggris, hingga aksi protes rakyat Sri Lanka yang menyebabkan Presiden Gotabaya Rajapaksa melepaskan jabatannya.
Alih-alih memulihkan rantai pasok global usai pandemi, perang di Ukraina justru mengakibatkan stagflasi yang ditandai oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di banyak negara. Krisis ekonomi ini disinyalir dapat memantik gejolak politik dan mengganggu stabilitas pemerintahan di dalam negeri.
Sementara di Inggris, kondisi ekonomi memburuk akibat inflasi yang hampir mencapai dua digit. Setelah lebih dari 50 pejabat pemerintahannya mengundurkan diri, PM Inggris Boris Johnson akhirnya mundur pada 7 Juli 2022.
Krisis ekonomi juga melanda Sri Lanka yang bahkan meluas menjadi krisis kemanusiaan. Hal itu memicu pendudukan atas Istana Kepresidenan pada 9 Juli lalu hingga menyebabkan Presiden Rajapaksa akhirnya mundur setelah melarikan diri.
Penasihat senior lembaga kajian LAB 45, Makmur Keliat menyebut bahwa kondisi perekonomian dan geopolitik global punya dampak bagi Indonesia. Misalnya, konflik di Ukraina yang berpengaruh pada pasokan energi dan harga pangan dunia. Tak main-main, kenaikan harga ini jadi yang paling tinggi dalam 21 tahun terakhir.
"Dari Januari 2022 sebenarnya sudah terlihat tren kenaikan energi meningkat ke atas," jelas Makmur dalam diskusi virtual LAB 45 bertema "Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Stabilitas Politik: Berkaca dari Eropa dan Sri Lanka", Kamis (21/7/2022).
Tren kenaikan harga pangan dan energi itu, lanjut Makmur, menjadi indikator dari banyak laporan di tingkat internasional bahwa ekonomi dunia saat ini sedang mengalami krisis.
"Kita bisa lihat peningkatannya luar biasa, saya kira mudah-mudahan bisa menurun seterusnya. Tetapi saya tak bisa berharap banyak karena perang terus berlanjut," tambah dia.
Menurut Makmur, di tengah situasi krisis ekonomi global, Indonesia diharapkan membuat kerangka regulasi mengenai cadangan energi dan pangan, serta dalam membuat proyeksi ke depan harus selalu mempertimbangkan geopolitical risk.
“Jadi ekonomi makro tidak bisa atau tidak berada dalam ruang hampa geopolitical. Maka asesmen ke depan harus memasukkan variabel geopolitical risk” ujarnya.
Indonesia Masih Jauh dari Resesi
Sementara itu dari sudut pandang ekonom, menurut Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, inflasi yang dihadapi Indonesia akibat pandemi serta krisis global tidak seperti yang dialami negara lain.
Indonesia, jelas dia, dari sisi komoditas memiliki stok yang berlebih seperti batu bara dan produk pertanian.
"Dari situ kita lihat kondisi over supply, dari input secara umum over supply, pupuk kita masih tersedia, bahkan mau diekspor. Bahkan Pak Jokowi menargetkan swasembada beras," kata dia.
Namun, dia mengingatkan jika tren ekspor komoditas terus dilakukan lantaran berlebihnya pasokan bakal berpotensi menyebabkan kelangkaan di akhir tahun 2022 hingga 2023.
Terkait dengan kemungkinan resesi akibat krisis, Indonesia memiliki kemungkinan kecil. Survei yang dilakukan para ekonom menyebut Indonesia hanya memiliki kemungkinan 3 persen mengalami resesi dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 85 persen.
"Tapi pak Jokowi ada benarnya, ini kita harus waspada," jelas dia.
Dari sisi politik, Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas'udi mengatakan fenomena mundurnya PM Inggris Boris Johnson dan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, menjadi pembelajaran bahwa kemampuan dari sebuah rezim untuk bisa menjaga legitimasi publik adalah kunci untuk mempertahankan rezim itu sendiri.
"Sifat yang tidak konstan namun fleksibel ini sangat menentukan arah policy ini dibawa ke mana," kata dia
Wawan Mas'udi mengatakan legitimasi bersumber dari keseimbangan antara sistem politik dan kebutuhan rakyat di sebuah negara.