ERA.id - Dokter spesialis anak Dr. dr. Ariani Dewi Widodo membantah sejumlah mitos tentang vaksin, salah satunya bahwa vaksin dapat menyebabkan autisme pada anak.
Ariani menjelaskan, asal mula mitos itu adalah di tahun 1998, ketika dokter bernama Andrew Wakefield membuat penelitian kecil yang tidak valid, yang menyatakan bahwa vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) berkontribusi pada gangguan perilaku dan perkembangan anak.
"Tapi desainnya itu nggak bener, sampelnya kecil, kesimpulannya spekulatif, tapi heboh. Kalau istilah anak sekarang viral, langsung viral penelitiannya. Dan orang tua menjadi cemas karena risiko autisme," ujarnya dalam “Lawan Diare Berat dengan Imunisasi Rotavirus” yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Kamis silam.
Hal tersebut diungkap untuk merespons sejumlah pertanyaan mengenai mitos dan fakta tentang vaksin. Dia mengatakan, penelitian tersebut diulang berjuta-juta kali pada anak-anak lain, dan ternyata klaim tersebut tidak benar.
Selain itu, katanya, kekhawatiran lain yang kerap muncul adalah mengenai thiomersal, yaitu senyawa merkuri organik untuk mengawetkan vaksin.
"Tapi biasanya penggunaan timerosal itu hanya sangat kecil dan tidak ada bukti signifikan bisa menyebabkan masalah kesehatan. Jadi mitos," katanya.
Menurut dia, vaksin dan imunisasi juga berfungsi untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit yang lebih spesifik. Hal tersebut berkebalikan dari rumor bahwa sering mendapatkan vaksin akan menyebabkan tubuh rentan terhadap virus.
"Jadi yang terjadi adalah, kalau ada kuman masuk, maka tubuh kita akan memberikan perlawanan dengan membentuk tentara yang spesifik untuk kuman tersebut. Nah ini yang ditiru oleh imunisasi. Diberikan kuman, tapi kumannya itu lemah," dia menjelaskan.
Dalam kesempatan itu, dia menyoroti pandangan orang bahwa ASI bisa menggantikan imunisasi, seperti jargon yang banyak beredar yaitu "imun is ASI". Ariani menilai, imunisasi memberikan perlindungan yang lebih spesifik dibandingkan ASI, sedangkan ASI adalah untuk meningkatkan daya tubuh.