WHO Klasifikasikan Polio di Indonesia Sebagai Wabah yang Diwaspadai, Penduduk Setempat dan Orang Asing Perlu Vaksin Polio Injeksi

| 21 Dec 2022 21:35
WHO Klasifikasikan Polio di Indonesia Sebagai Wabah yang Diwaspadai, Penduduk Setempat dan Orang Asing Perlu Vaksin Polio Injeksi
Pakar Kesehatan sekaligus Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Profesor Tjandra Yoga Aditama. (ANTARA/HO-YARSI).

ERA.id - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan penyakit Polio yang terjadi di Indonesia sebagai Diseases Outbreak News (DONs) atau wabah penyakit yang perlu diwaspadai, sebab sudah bersirkulasi dalam bentuk transmisi lokal di tengah masyarakat setempat.

Dalam pernyataan resmi yang dilansir di Jakarta, Rabu, WHO mencantumkan judul “Circulating Vaccine-Derived Poliovirus Type 2 (cVDPV2)–Indonesia" terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus Polio di Indonesia yang terbit per 19 Desember 2022.

Dalam keterangan tersebut juga dijelaskan secara rinci kasus Polio yang terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh, berikut serangkaian tindakan yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia.

Pada awal November 2022, Kementerian Kesehatan RI mengumumkan temuan satu kasus Polio di Kabupaten Pidie. Selanjutnya dilakukan upaya penelusuran epidemiologi di sekitar tempat tinggal pasien dan kembali ditemukan kasus serupa yang menjangkiti tiga anak balita, tapi tanpa gejala lumpuh layu mendadak.

Kemenkes telah berupaya menekan laju kasus Polio melalui program vaksinasi Polio yang menyasar sekitar 1,2 juta jiwa masyarakat berusia di bawah 12 tahun. Mereka tersebar di 23 kabupaten/kota Provinsi Aceh.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama menjelaskan dua alasan yang menyebabkan Polio di Aceh sudah bersirkulasi dan menular di masyarakat.

Pertama, karena ada beberapa sampel kasus yang diperiksa, ternyata saling berhubungan secara genetik. Alasan kedua, laporan pemeriksaan laboratorium sekuensing dari Bio Farma menunjukkan perubahan 25 senyawa organik nukloetida pada pasien dengan kasus lumpuh layu (acute flaccid paralysis/AFP), serta perubahan nukleotida 25 dan 26 pada kasus yang tidak bergejala atau asimtomatik.

"Keadaan dinyatakan sudah bersirkulasi di masyarakat, makanya ada abjad “c” di depan VDVP2, yaitu virus penyebab KLB ini," katanya.

Tjandra yang kini menjabat Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI mengatakan, setidaknya ada dua dampak yang muncul bagi negara berstatus kasus importasi cVDPV2 yang sudah bersirkulasi dalam bentuk transmisi lokal.

Pertama, perlu menyatakan KLB sebagai masalah kegawatan kesehatan nasional. Kedua, juga dianjurkan kepada penduduk setempat serta orang asing yang menetap dalam jangka waktu panjang untuk mendapatkan Vaksin Polio Injeksi (IPV) minimal dalam empat pekan hingga 12 bulan sebelum bepergian ke luar negeri.

Dua hal itu adalah anjuran WHO berdasarkan rekomendasi dalam pernyataan (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC), kata Tjandra menambahkan.

"Kedua hal itu tentu punya dampak amat luas kalau memang akan diberlakukan, karena itu sejak sekarang harus dicari jalan keluar terbaiknya. Setidaknya, diperlukan diplomasi kesehatan internasional," ujarnya.

Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Penyakit dan Mantan Kepala Balitbangkes Kemenkes RI itu mengatakan ketentuan tersebut berdampak bagi pelaku perjalanan

Rekomendasi