Indonesia di Tengah Darurat Polio Tipe 2 dan Hoaks Bahaya Vaksin Tetes

| 29 Jul 2024 19:33
Indonesia di Tengah Darurat Polio Tipe 2 dan Hoaks Bahaya Vaksin Tetes
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Kurang lebih 10 tahun lalu, Indonesia ditetapkan sebagai negara bebas polio oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, pada 2022, kasus polio kembali ditemukan di wilayah Aceh. Beberapa kasus lain mulai bermunculan di berbagai daerah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera mengumumkan temuan ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Seiring kampanye vaksin polio kembali digalakkan, suara-suara sumbang penolak vaksin juga mengemuka. Mereka menyebut penyakit ini kembali muncul justru karena pemberian vaksin oral atau tetes. Benarkah demikian?

Salah satu pihak yang getol menyuarakan kegamangan terhadap vaksin tetes polio adalah Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN). Dalam laman website yang mereka kelola, investigasi.org, YAKIN mengklaim vaksin tetes polio adalah malpraktek medis dan kegagalan Kemenkes. 

"Mereka (Kemenkes) menyembunyikan fakta bahwa semua kasus yang telah menjadi dasar untuk menyatakan KLB adalah akibat dari penggunaan vaksin OPV (Oral Polio Vaccine)," tulis keterangan dalam website itu tertanggal 14 Januari 2024.

YAKIN juga mengklaim bahwa WHO telah mengeluarkan "pernyataan mencengangkan" bahwa semua kasus polio terbaru di Indonesia adalah polio tipe 2 yang disebabkan vaksin tetes. Yayasan itu juga menulis bahwa seorang guru besar fakultas kedokteran di Universitas Indonesia (FKUI) telah mengangkat isu bahwa vaksin tetes menyebabkan polio.

Sementara itu, Ketua YAKIN Ted Hilbert aktif berkampanye kontra vaksin tetes polio lewat akun X-nya, @TedInvestigasi. Beberapa unggahannya menjangkau puluhan ribu pengguna media sosial dan mendapat banyak dukungan dari para pengikutnya.

"Diakui oleh WHO bahwa semua kasus Polio di Indonesia disebabkan oleh vaksin tetes. Media sampah menyatakannya 'Mitos'," tulis Ted, Senin (29/7/2024). 

Berbagai konspirasi lain seputar vaksin polio marak disuarakan di media sosial, mulai dari kepentingan elite global yang disokong Bill Gates hingga permainan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Biofarma untuk mendukung bisnis farmasi mereka. Narasi-narasi ini tentu kontra produktif dengan tujuan eradikasi atau pengentasan polio. Mari kita telusuri fakta-faktanya.

Sejarah masuknya polio di Indonesia

Polio adalah penyakit menular yang sebagian besar menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun. Menurut WHO, 1 dari 200 infeksi penyakit ini menyebabkan kelumpuhan permanen. Sebanyak 2-10 persen dari kelumpuhan itu menyebabkan kematian. Sebagian besar penderita meninggal karena tidak dapat menggerakkan otot pernapasan.

Bagaimana virus polio menyebar? Virus ini ditularkan dari orang ke orang lewat jalur tinja-oral atau, dalam kasus yang jarang, melalui air dan makanan yang terkontaminasi. Virus ini berkembang biak di usus dan menyerang sistem saraf yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Sementara itu, umumnya penyakit polio tak terdeteksi dan 90 persen orang yang terinfeksi virus polio tidak bergejala atau hanya mengalami gejala ringan.

Gejala ini biasanya bermula dengan pilek, batuk, hidung tersumbat, atau demam dalam beberapa hari hingga berminggu-minggu sebelum timbulnya kelemahan. Gejala lebih lanjut yang muncul meliputi kesulitan dalam berjalan atau berdiri, kelemahan otot, dan kaku pada bagian tubuh tertentu.

Dilansir dari laman Kemenkes, masa inkubasi virus polio biasanya antara 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Pada abad ke-20, polio jadi salah satu momok di negara-negara industri karena melumpuhkan ratusan ribu anak setiap tahunnya. Pada tahun 1960-an, polio telah terkendali setelah adanya vaksinasi. 

Di Indonesia, Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio dilaksanakan tiga tahun berturut-turut pada 1995, 1996, dan 1997. Virus polio liar asli Indonesia sudah tidak ditemukan lagi sejak 1996, tetapi pada 2005 muncul kasus polio importasi pertama di Sukabumi, Jawa Barat.

Kemudian kasus polio tersebut berkembang hingga menyerang 305 orang di 10 provinsi dalam rentang 2005-2006 dan dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Selain itu, ada 46 kasus polio yang disebabkan oleh virus dari vaksin atau Vaccine Drived Polio Virus (VDPV) yang terjadi apabila banyak anak yang tidak diimunisasi.

Pada tanggal 27 Maret 2014, Indonesia telah dinyatakan bebas polio (eradikasi polio) bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya yang terdaftar di WHO. Namun, selang delapan tahun usai penetapan itu, kasus polio kembali ditemukan di Aceh. Hingga 2024, Kemenkes melaporkan ada 12 kasus kelumpuhan anak akibat polio sejak 2022.

"Sejak akhir 2022 sampai saat ini, telah terjadi beberapa KLB polio di Indonesia. Status KLB ini masih belum dicabut, karena kasus masih terus dilaporkan," ungkap Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes dr. Yudhi Pramono dalam acara temu media secara daring, Jumat (19/7/2024).

"Total ada 12 kasus kelumpuhan, 11 kasus disebabkan oleh virus polio tipe-2 dan satu kasus disebabkan oleh virus polio tipe-1," lanjutnya.

Kasus kelumpuhan itu tersebar di delapan provinsi, yaitu Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Banten. Kasus terakhir ditemukan pada 15 Juni 2024 di Banten. Selain itu, ada 32 anak lain yang positif polio di delapan provinsi tadi, tetapi dinyatakan dalam kondisi sehat.

Kemenkes pun menargetkan Indonesia bebas polio tahun 2026. Untuk itu, mereka tengah menggelar imunisasi polio tambahan lewat Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang dibagi dalam dua tahapan untuk 399 kabupaten/kota di 32 provinsi.

Tahap pertama dilakukan mulai 27 Mei 2024 di Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat. Sedangkan tahap kedua dimulai sejak 23 Juli 2024 di 27 provinsi lainnya.

"Sasarannya semua anak 0-7 tahun, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya," tegas dr. Yudhi.

Mengapa polio bangkit lagi di Indonesia?

YAKIN sebelumnya mengklaim bahwa semua kasus polio terbaru di Indonesia disebabkan karena vaksin tetes menurut WHO. Berdasarkan hasil penelusuran kami, tidak ada satu pun klaim WHO yang menyebut vaksin polio tetes menjadi biang keladi kasus polio baru di Indonesia. Bahkan, dalam lamannya, WHO sudah menyetujui pemberian vaksin jenis ini untuk imunisasi tambahan di Indonesia pada 15 Januari 2024 dan 19 Februari 2024.

Ada juga narasi yang menyebut bahwa Kemenkes menutup-nutupi penyebab kasus polio karena terinveksi dari vaksin tetes. Padahal, Kemenkes sudah menerangkan kasus polio bisa juga terjadi karena virus dari vaksin atau Vaccine Drived Polio Virus (VDPV). Namun, hal tersebut sangat jarang dan hanya mungkin terjadi akibat cakupan vaksinasi yang kurang optimal.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi menegaskan kelumpuhan akibat polio disebabkan karena virus polio yang bisa dicegah dengan imunisasi.

"Justru yang menyebabkan kelumpuhan itu virus polio yang bisa dicegah dengan imunisasi polio," ujarnya kepada Era.id, Senin (29/7/2024).

Sementara itu, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kemenkes dr. Prima Yosephine menjelaskan bahwa di Indonesia, imunisasi polio lengkap diberikan dalam dua jenis, yaitu vaksin polio tetes dan vaksin polio suntik.

"Imunisasi polio lengkap itu diberikan melalui kombinasi dua jenis imunisasi polio, yaitu imunisasi polio tetes dan imunisasi polio suntik. Ini harus dua-duanya diberikan untuk terbentuknya kekebalan yang optimal terhadap virus polio,” ujarnya dalam acara temu media secara daring, Jumat (19/7/2024).

Adapun vaksin tambahan yang akan diberikan dalam PIN Polio adalah vaksin tetes novel Oral Polio vaccine Type 2 (nOPV2).

"Vaksin yang akan digunakan adalah vaksin polio tetes novel Oral Polio vaccine Type 2 (nOPV2). Vaksin ini memang hanya akan digunakan untuk menanggulangi KLB polio tipe-2,” tambahnya.

Dokter spesialis anak dr. Mesty Ariotedjo, Sp.A pun menjelaskan mengapa anak-anak usia 0-7 tahun perlu menerima vaksin polio tambahan dalam PIN Polio, meskipun sebelumnya sudah pernah imunisasi polio.

"Kenapa? Karena sebelumnya polio tipe 2 ini dianggap sudah 'punah', sehingga OPV yang diberikan pada anak-anak kita sejak 2016 adalah tipe 1 dan 3. Sedangkan kita butuh kerja sama sehingga cakupan 9 persen sehingga terbentuk kekebalan massal di Indonesia! Berjuang sama-sama, ya!" ujarnya dalam keterangan tertulis di Instagram @mestyariotedjo, Sabtu (27/7/2024).

Rekomendasi