Filipina Resesi, Warga Tukar Jaket Ralph Lauren dengan 6 Kg Beras

| 03 Sep 2020 17:30
Filipina Resesi, Warga Tukar Jaket Ralph Lauren dengan 6 Kg Beras
Ilustrasi barter di Filipina yang mengalami resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19. (Maria Tan)

ERA.id - Jutaan warga Filipina pergi ke situs barter online, yang menjamur selama pandemi COVID-19, dan menukarkan apa saja agar bisa bertahan hidup. Dari peralatan dapur, mainan anak, hingga tas desainer ternama dilepaskan untuk bisa mendapatkan sekarung beras atau daging ayam.

"Akhir-akhir ini saya sangat kesulitan, tak tahu dari mana akan dapat uang untuk membayar tagihan atau membeli kebutuhan dapur," kata Lorraine Imperio, ibu dua anak yang suaminya bekerja di toko donat di ibukota Manila, seperti dikutip Al Jazeera.

Ia mengaku bahwa suaminya hanya dijadwal setengah hari kerja selama pandemi, dan pendapatan pun turun hingga 9.000 peso, setara Rp2,74 juta. Jumlah itu bahkan tak cukup untuk membayar biaya sewa apartemen.

Keberadaan situs barter online, yang berjumlah 98 menurut hitungan media AFP, kini menjadi penyelamat nasib warga Filipina yang harus menjalani karantina wilayah sejak Maret dan menghadapi ekonomi yang terjun ke jurang resesi.

Studi dari iPrice Group menemukan bahwa pencarian Google untuk kata kunci "barter food" meningkat 300 persen pada buan Mei, dibandingkan dengan satu bulan sebelumnya. Grup tersebut juga meneliti 85 forum di Facebook, yang total memiliki anggota 2 juta akun, dan menemukan bahwa makanan dan keperluan dapur menjadi barang yang paling sering dicari untuk ditukar dengan barang-barang lainnya.

Imperio, contohnya, menukar jaket anaknya dan jumper Ralph Lauren miliknya dengan 6 kilogram beras. Sementara itu, sepatu Nike miliknya bisa ditukar dengan satu ingkung daging ayam utuh.

Pertukaran barang dan menjamurnya situs barter online terjadi seiring makin lamanya larangan keluar rumah bagi warga Filipina. Jocelle Batapa Sigue, yang mendirikan Bacolod Barter Community, mengaku bahwa keluarganya hanya memiliki satu kartu ijin keluar rumah (travel pass) yang biasanya dibawa oleh sang suami.

"Saya kesulitan mendapatkan apa yang saya mau jika saya menitipkan daftarnya ke suami saya," kata Sigue. Hal ini yang mendorongnya membangun situs barter online, yang saat ini sudah beranggotakan 230.000 orang.

Sigue mengatakan bahwa ribuan barang, mulai dari sampo, kue ulang tahun, ponsel, hingga eyeliner, berpindah kepemilikan setiap harinya.

"Kalau tidak ada pandemi, saya yakin komunitas barter seperti ini tak akan jadi populer," kata dia.

Saat ini, seperti ditunjukkan data Social Weather Stations pada Juli lalu, sekitar 5,2 juta keluarga Filipina setidaknya pernah mengalami "kekurangan pangan" sekali dalam tiga bulan terakhir. Angka tersebut termasuk yang tertinggi dalam enam tahun terakhir.

"Banyak orang menyadari bahwa meski mereka tak punya uang, mereka telah mengumpulkan banyak barang yang bisa ditukar," kata Charles Ramirez, yang juga mendirikan grup barter Mei lalu.

"Tentu saja ini terasa menyedihkan karena Anda harus merelakan barang-barang yang telah Anda kumpulkan agar bisa bertahan hidup."

Rekomendasi