ERA.id - Genap tiga bulan berturut-turut Sudan digenangi banjir bandang yang telah menewaskan 99 jiwa. Banjir disebabkan hujan lebat musiman yang intensitasnya tak pernah terjadi selama 100 tahun terakhir.
Selain menewaskan hampir seratus jiwa, banjir bandang juga melukai 46 orang dan merusak lebih dari 100.000 rumah, seperti dilaporkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Sudan.
Banjir bandang tahun ini disebabkan oleh hujan musiman yang mengguyur negara tetangga, Ethiopia, yang memuat muara Sungai Nil. Sebagai akibatnya, permukaan air Sungai Nil - yang mengaliri Ethiopia, Sudan, hingga Mesir - naik sampai 17,5 meter pada akhir Agustus lalu. Ini merupakan level permukaan air tertinggi dalam sejarah Sungai Nil satu abad terakhir.
Sudan has declared a 3-month state of emergency and the country has been declared a disaster zone, due to floods that have affected over 500,000 people and the collapse of 100,000 homes. pic.twitter.com/4p68lAeLsk
— Africa Facts Zone (@AfricaFactsZone) September 5, 2020
Curah hujan dan banjir bandang tahun ini juga melampaui rekor yang terjadi pada tahun 1946 dan 1988. Level ini dikhawatirkan masih akan terus bertambah, kata Lena el-Sheikh, menteri tenaga kerja Sudan, seperti dilansir The Guardian.
Saat ini kota-kota di daerah Khartoum, Blue Nile dan Sungai Nil mengalami dampak terburuk akibat banjir bandang. Sementara, menurut laporan PBB, kerusakan terparah terjadi di kota Gezira, Gadarif, West Kordofan, dan South Darfur.
Proses tanggap darurat di Sudan saat ini terus dibantu oleh PBB yang menyediakan tenda-tenda darurat dan suplai rumah tangga, seperti air, makanan, bantuan kesehatan, dan pengendalian hama.
PBB mengaku sanggup menyediakan bantuan bagi 250.000 Sudan karena sudah memposisikan diri di wilayah Afrika Utara tersebut sebelum musim hujan lebat terjadi. Namun, saat ini stok "menipis dengan cepat" dan PBB menanti dukungan tambahan dari komunitas internasional.