Gara-gara Gambar Emoticon, Aktivis Singapura Didenda Rp52,3 Juta

| 25 Nov 2020 18:30
Gara-gara Gambar Emoticon, Aktivis Singapura Didenda Rp52,3 Juta
Jolovan Wham, 40 tahun, mengangkat papan dengan logo emoticon di depan sebuah kantor polisi di Singapura, Maret lalu. (Foto: Reuters)

ERA.id - Aktivis yang mengangkat gambar smiley dalam sebuah aksi protes seorang diri, pada Maret lalu, diancam denda hingga 5.000 dolar Singapura (Rp52,3 juta). Ia menjalani persidangan pada Senin (23/11/2020).

Jolovan Wham, warga Singapura, mengaku mengangkat papan kardus dengan gambar emoji smiley itu selama beberapa detik saja. Aksi yang ia lakukan di dekat sebuah kantor polisi Singapura itu sebagai dukungan atas dua aktivis lingkungan yang diinterogasi polisi karena aksi protes serupa.

Dalam persidangan hari Senin lalu, Wham mengaku tak bersalah dan tak pernah melanggar dua hal dalam Undang-undang Ketertiban Umum Singapura, seperti yang disangkakan padanya.

Wham diancam denda hingga Rp52,3 juta untuk setiap tuduhan.

Pada Senin lalu ia juga mengajukan jaminan sebesar 15.000 dolar Singapura (Rp157,7 juta). Persidangannya akan dilanjutkan pada hari Jumat pekan ini.

Sebelum persidangan dua hari lalu, Wham memposting foto dirinya memakai masker dan kaos bergambar emoticon smiley. Para pendukungnya pun mengirim foto selfie dengan gambar smiley, sebagai bentuk dukungan pada Wham.

"Orang-orang cenderung melihat Singapura sebagai negara yang progresif, modern, dan maju. Namun, itu hanya benar dalam hal infrastruktur. Namun, Singapura adalah negara tempat warganya tinggal dalam rasa takut," kata Wham, saat diwawancarai The Guardian.

"Orang-orang cenderung takut menyatakan pendapatnya tentang situasi politik di negara ini, atau bahkan berbicara tentang isu-isu sosial."

Singapura memiliki aturan yang ketat mengenai hak berkumpul warganya, bahkan ketika kebebasan tiap orang diakui dalam konstitusinya. Warga Singapura hanya diperbolehkan berkumpul tanpa izin di 'Speakers Corner', yaitu suatu pojok kecil di taman kota. Aksi protes di luar area itu, bahkan ketika hanya dilakukan seorang diri, dianggap melanggar hukum.

Pada tahun 2018, seorang seniman bernama Seelan Palay dipenjara selama dua pekan setelah ia "beraksi membawa cermin keluar dari area taman dan menuju ke gedung parlemen Singapura", seperti diberitakan Al Jazeera.

Wham sendiri juga dituduh bersalah akibat sebuah insiden di bulan Desember 2018 ketika ia "berdiri seorang diri di luar Pengadilan Negara" sambil mengangkat poster berisi tuntutan agar tuduhan terhadap Terry Xu dan Daniel De Costa, anggota redaksi sebuah media online, ditangguhkan.

Ia juga pernah dituduh bersalah karena mengundang aktivis Hong Kong, Joshua Wong, untuk berbicara via Skype dalam sebuah pertemuan di dalam ruangan. Pemerintah setempat mengatakan Wham tidak punya izin untuk mengundang pembicara asing.

"Saya melakukan semua ini untuk menyorot cara pemerintahan Singapura yang terlalu menuntut dan kejam," kata Wham.

Phil Robertson dari organisasi HAM Human Rights Watch mengatakan bahwa kasus hukum Wham sangat absurd.

"Anda mungkin berpikir bahwa pejabat Singapura cukup cerdas untuk tidak menganggap serius kasus yang bisa membuat diri mereka jadi bahan tertawaan pihak luar. Namun, mereka ternyata sudah dibutakan oleh cara pandang untuk menghukum provokasi sekecil mungkin dengan hukuman semaksimal mungkin," kata dia.

"Pemerintah Singapura perlu bersikap dewasa dan membicarakan soal apa yang diinginkan warganya di abad ke-21. Hal tersebut menuntut mereka mengakui kebebasan sipil dan politik para warga."

Tags : singapura
Rekomendasi