ERA.id - Paus Fransiskus mengutuk produsen senjata dan penyelundup yang menjual senjata kepada teroris. Hal ini ia ungkapkan usai kunjungannya ke Irak baru-baru ini.
Paus mengatakan bahwa dia bersyukur bisa melakukan kunjungan yang luput dari perhatian para pendahulunya, dan menggambarkannya sebagai "wujud harapan (bagi umat Kristen dan Muslim) pasca perang dan terorisme selama bertahun-tahun, dan selama pandemi yang parah".
"Rakyat Irak memiliki hak untuk hidup damai, mereka memiliki hak untuk menemukan kembali martabat mereka," kata Paus Fransiskus dalam audiensi mingguan Vatikan, Rabu (10/3/2021), yang diadakan secara daring karena COVID-19.
Irak menderita karena kesalahan pengelolaan yang parah, korupsi, dan tingkat kekerasan yang stabil yang sering dikaitkan dengan persaingan antara Iran dan Amerika Serikat (AS) di wilayah tersebut selama 18 tahun setelah invasi AS ke Irak.
Dilansir ANTARA, pada Minggu (7/3), paus berusia 84 tahun itu melihat reruntuhan rumah dan gereja di utara Kota Mosul yang diduduki oleh kelompok ISIS dari 2014 hingga 2017.
"Dan saya bertanya pada diri saya sendiri (selama perjalanan), 'siapa yang menjual senjata kepada teroris?, siapa yang menjual senjata kepada teroris hari ini yang sedang melakukan pembantaian di tempat lain, misalnya di Afrika?'," kata dia.
"Saya berharap seseorang bisa menjawab pertanyaan tersebut," kata Paus.
Fransiskus pernah berkata di masa lalu bahwa produsen senjata dan pedagang manusia harus bertanggung jawab kepada Tuhan suatu hari nanti.
Menyerukan persaudaraan di seluruh dunia, dia menggambarkan pertemuannya pada Sabtu (6/3) di kota suci Najaf dengan Ayatollah Ali al-Sistani, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam Islam Syiah baik di Irak maupun di luar negeri, sebagai peristiwa "tak terlupakan".
Dia mengatakan dia merasa terdorong untuk melakukan kunjungan ke Irak, yang mengupayakan pengamanan paling ketat untuk perjalanan kepausan, untuk dekat dengan "orang-orang yang mati syahid itu, Gereja yang syahid itu".
Komunitas Kristen Irak, salah satu yang tertua di dunia, turun menjadi sekitar 300.000 orang dari sekitar 1,5 juta orang sebelum invasi AS dan kekerasan militan Islam yang mengikutinya.
Beberapa jam setelah paus meninggalkan Irak pada Senin (8/3), Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi mendesak kelompok politik yang bersaing untuk menggunakan dialog untuk menyelesaikan perbedaan mereka, sebuah langkah yang katanya akan mencerminkan "cinta dan toleransi" yang ditunjukkan oleh paus.
Banyak orang di Irak berharap kunjungan kepausan akan mendapatkan lebih banyak dukungan internasional bagi pemerintah Kadhimi untuk menangani krisis sensitif, termasuk mengekang milisi yang didukung Iran yang kekuasaan dan pengaruhnya telah berusaha dikendalikan oleh Kadhimi sejak menjabat pada Mei 2020.