Gertak Sambal Junta Myanmar, Skorsing 125 Ribu Guru Sekolah

| 23 May 2021 16:10
Gertak Sambal Junta Myanmar, Skorsing 125 Ribu Guru Sekolah
Dokumen: Semprotan meriam air polisi ke arah demonstran yang menuntut berakhirnya kudeta dan pembebasan Aung San Suu Kyi, di Naypyitaw, Myanmar, Senin, (8/2/2021). (Foto: ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/foc/cfo/aa)

ERA.id - Lebih dari 125 ribu guru sekolah di Myanmar diskors oleh otoritas militer karena bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil menentang kudeta militer pada Februari, sebut seorang pejabat Federasi Guru Myanmar.

Dilansir dari ANTARA, (23/5/2021), pemberlakuan skors telah terjadi beberapa hari sebelum dimulainya tahun ajaran baru, yang diboikot oleh beberapa guru dan orang tua sebagai bagian dari kampanye yang telah melumpuhkan negara itu sejak kudeta mempersingkat satu dekade reformasi demokrasi.

Sebanyak 125.900 guru sekolah telah diskors hingga Sabtu, kata pejabat federasi guru, yang menolak menyebutkan namanya karena takut akan pengejaran. Dia sudah ada dalam daftar buronan junta dengan tuduhan menghasut masyarakat.

Myanmar memiliki 430.000 guru sekolah, menurut data dua tahun lalu, sebut ANTARA.

"Ini hanya pernyataan untuk mengancam orang agar kembali bekerja. Jika mereka benar-benar memecat orang sebanyak ini, seluruh sistem akan berhenti," kata pejabat yang juga seorang guru itu. Dia mengatakan dia telah diberitahu bahwa tuduhan yang dia hadapi akan dibatalkan jika dia kembali.

Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta atau kementerian pendidikan untuk memberikan komentar. Surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah meminta para guru dan siswa untuk kembali ke sekolah untuk memulai kembali sistem pendidikan.

Gangguan di ranah pendidikan itu serupa dengan isu di sektor kesehatan dan di seluruh pemerintahan serta bisnis swasta di Myanmar sejak terjadinya kekacauan oleh kudeta dan penangkapan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi.

Sekitar 19.500 staf universitas juga telah diskors, menurut kelompok guru.

Pendaftaran dimulai minggu depan untuk masa sekolah yang dimulai pada Juni, tetapi beberapa orang tua mengatakan mereka juga berencana untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka.

"Saya tidak akan mendaftarkan putri saya karena saya tidak ingin memberikan pendidikannya dari kediktatoran militer. Saya juga mengkhawatirkan keselamatannya," kata Myint, 42 tahun, yang putrinya berusia 14 tahun.

Mahasiswa, yang berada di garis depan protes harian yang menewaskan ratusan orang oleh pasukan keamanan, juga mengatakan mereka berencana untuk memboikot kelas.

Seorang siswa 18 tahun, Lwin, menyatakan sentimen yang sama, mengaku tak berniat kembali ke sekolah. "Saya hanya akan kembali ke sekolah jika kita mendapatkan kembali demokrasi," kata dia.

Rekomendasi