ERA.id - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyoroti ketimpangan akses vaksin yang masih terus berlangsung, pada Peringatan 60 Tahun Gerakan Non-Blok (GNB) yang dilaksanakan di Beograd, Serbia, pada 11-12 Oktober 2021.
Ketika menyampaikan pernyataan Indonesia pada pertemuan tersebut, Menlu RI mengatakan bahwa diskriminasi dan politisasi vaksin semakin memperlebar ketimpangan dan menciptakan pemulihan yang tidak merata.
"Kesetaraan dan keadilan akses vaksin adalah ujian moral terbesar yang kita hadapi," tutur Menlu Retno dalam video pernyataannya yang dipantau dari akun YouTube resmi Kementerian Luar Negeri RI dikutip dari Antara, Selasa (12/10/2021).
Karena itu, Indonesia menyerukan kesetaraan di antara semua bangsa dalam menyikapi isu vaksin, sesuai Dasasila Bandung yang dirumuskan pada awal pendirian GNB sebagai prinsip-prinsip hubungan dan kerja sama antara bangsa-bangsa.
"Inilah mengapa GNB harus bertindak dalam persatuan dan solidaritas untuk mendorong pemerataan distribusi dan akses vaksin yang setara," tutur Menlu Retno.
Kesenjangan vaksin menjadi isu yang terus disoroti Indonesia dalam penanganan pandemi COVID-19, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia bahwa dari 6 miliar dosis vaksin yang telah didistribusikan ke seluruh dunia, hanya sekitar 2 persen di antaranya disalurkan ke Afrika.
Selain isu vaksin, Indonesia mendorong GNB untuk mengedepankan nilai-nilai kerja sama di tengah persaingan geopolitik yang mengancam kerja sama untuk mengatasi pandemi dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim.
GNB juga diharapkan memajukan penghormatan terhadap keadilan, khususnya untuk membantu perjuangan kemerdekaan Palestina.
"Kita masih berutang kepada rakyat Palestina sebuah negara Palestina merdeka—yang telah lama tertunda," ujar Menlu Retno.
GNB berdiri saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961 yang diikuti 25 negara.
Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB ini berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan, bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratis dalam membangun upaya kerja sama di antara mereka
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB, yang prosesnya diawali dari Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Secara khusus, presiden pertama RI Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB.
Indonesia menilai penting GNB tidak sekadar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi juga mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.