ERA.id - Prevalensi stunting di Indonesia seringkali dikaitkan pada kelompok ekonomi rendah lebih rentan terhadap kondisi stunting.
Kendati demikian, ada pula beberapa kasus yang menunjukkan anak-anak dari kalangan ekonomi lebih makmur alias kaya juga berisiko terkena stunting meski prevalensinya tidak terlalu mencolok dibandikan masyarakat di kalangan ekonomi lebih rendah.
Menanggapi hal ini, kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dokter Hasto Wardoyo mengungkapkan beberapa faktor keluarga kaya juga bisa terkena stunting.
Pasalnya, penyebab stunting secara keseluruhan itu multifaktor dan tak cuma bicara soal kecukupan gizi.
Di kalangan masyarakat atas misalnya, anak-anak dari keluarga mampu mungkin dapat memenuhi kecukupan gizi dengan baik.
Tapi ada satu hal yang sering luput dari perhatian, yakni soal pola asuh hingga kesadaran soal pemenuhan gizi terbaik di 1.000 hari pertama kehidupan si kecil melalui air susu ibu (ASI) eksklusif.
"Stunting di kalangan atas karena kelompok ekonomi mapan terlena kondisi ekonomi. Misalnya ibu bekerja dan kurang memberikan ASI eksklusif," ujar dokter Hasto di acara Morning Coffee bersama rekan media dan BKKBN di Jakarta, baru-baru ini.
Kata dokter Hasto, BKKBN sejak dulu selalu setuju dengan regulasi cuti hamil selama 6 bulan supaya para ibu pekerja bisa memberikan asupan ASI eksklusif selama enam bulan penuh.
Tapi sayangnya, implementasi regulasi cuti hamil belum begitu sempurna untuk mendukung program ASI eksklusif.
Kemudian sudah banyak pula gerakan yang digagas oleh BKKBN dalam memberikan edukasi pada keluarga hingga balita demi mencegah terjadinya stunting bagi banyak kalangan.
Namun, di lapangan masih saja ditemui hambatan yang memungkinkan para orangtua masih belum bisa memaksimalkan pemberian ASI eksklusif.
"Supaya pemberian ASI eksklusif, kami terus memberikan sosialisasi terkait pentingnya 1000 hari pertama kehidupan, paparnya.
Selain itu, ada pula hambatan atau faktor pemicu terjadinya stunting di kalangan orang kaya, salah satunya kondisi keluarga yang kurang harmonis.
"Tantangan keluarga di kalangan ini seringkali tercatat adanya disharmoni dalam keluarga, sehingga angka perceraian banyak, disharmoni ini juga salah satu mengganggu suksesnya pemberian nutrisi pada anak," papar dokter Hasto.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, karena ketidakharmonisan keluarga tentu dapat berdampak ke pola asuh pada anak, sehingga risiko stunting pun akan lebih tinggi.
"Faktor penyebab stunting hampir 60 persen memang asupan nutrisi, tapi 40 persennya itu faktor stimulasi yang artinya parenting (pola asuh) memainkan peran utama,"
"Kalau anaknya tidak pernah digembirakan, diajak bicara, diabaikan, orangtua terlalu sibuk cuma sekadar dikasih makan tanpa diajak komunikasi, maka itu yang bisa mengganggu perkembangan otak anak dan perkembangannya. Pada akhirnya stunting dialami anak," pungkas dokter Hasto.