ERA.id - Media sosial menjadi ruang yang paling mudah digunakan untuk membagikan kisah dan informasi. Namun, belakangan hal yang terjadi malah oversharing. Sebenarnya apa itu oversharing?
Tak ada definisi baku dari istilah oversharing. Secara umum, ini merupakan gejala sosial terkait pembagian informasi kepada khalayak melalui media sosial yang dilakukan secara berlebihan.
Mengenal Apa Itu Oversharing
Media sosial memang memberikan kemudahan bagi para penggunanya untuk membagikan informasi. Namun, warganet mesti bijak dalam memilah informasi apa yang perlu dan layak untuk dibagikan kepada banyak orang, terutama terkait kehidupan pribadi.
Pembagian informasi pribadi di media sosial bisa berdampak buruk bagi orang tersebut. Informasi-informasi tertentu bisa digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan tertentu, salah satunya tindak kejahatan.
Beberapa informasi yang riskan menjadi “makanan” hal-hal buruk adalah informasi detail mengenai alamat tempat tinggal, statusnya di dunia kerja, gaji, informasi keluarga, nomor probadi, aib dirinya dan keluarga, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan privasi.
Berdasarkan laporan Tessian, perusahaan software yang fokus di bidang keamanan, 84 persen warganet membuat unggahan di media sosial setiap minggu. Dari total tersebut, 42 persen warganet membagikan banyak sekali informasi mengenai hobi, ketertarikan, hubungan, dan lokasinya setiap hari.
Setengah dari para pengunggah membagikan nama dan foto anak-anaknya dan 72 persen di antaranya memberikan ucapan selamat ulang tahun. Kemudian, 55 persen responden menampilkan informasi profilnya secara terbuka di Facebook, sedangkan yang menggembok akun Instagram-nya hanya 33 persen dari responden. Cukup banyak pula yang mengunggah kehidupan pekerjaannya.
Di Amerika Serikat, sebanyak 93 persen pekerja mengunggah informasi mengenai pekerjaan mereka di media sosial. Dari total tersebut, 36 persen menceritakan pekerjaannya sendiri, sedangkan 26 persen memamerkan klien atau kehidupan rekan kerjanya.
Bahaya Oversharing
Berbagai informasi dan data pribadi yang ada di media sosial tampak sebagai hal yang biasa saja. Namun, bagi hacker, hal tersebut bisa menjadi modal untuk membuat gambaran mengenai target yang kemudian bisa dijadikan strategi untuk menentukan metodi penyerangan digital.
"Kebanyakan orang terlalu banyak bicara soal apa yang mereka bagikan di media sosial. Anda bisa menemukan apa pun secara virtual," ungkap Harry Denley, Security and Anti-Phishing di MyCrypto, dikutip Era dari Kompas.
Menurutnya, informasi bahkan bisa tetap diperoleh meski pemilik informasi tidak membagikannya secara publik. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menelusuri dan mengidentifikasi target melalui orang-orang di sekitar, kemudian meniru identitas orang-orang tersebut untuk menipu target. Biasanya, metode yang digunakan adalah rekayasa sosial (social engineering) atau manipulasi psikologi.
Secara umum, praktik rekayasa sosial adalah hacker menduplikasi identitas orang terdekat target, kemudian menipu target dengan mengiba meminta bantuan berupa kiriman uang.
Hacker juga bisa melakukan phishing dengan mengirimkan e-mail kepada target yang isinya tautan atau lampiran. Jika tauran atau lampiran tersebut dibuka, hacker bisa mengambil data sensitif dari pengguna tersebut.
Salah satu faktor utama dari terjadinya rekayasa sosial adalah minimnya kewaspadaan digital. Berdasarkan laporan Tessian, hanya 54 persen responden pekerja yang benar-benar memperhatikan siapa pengirim e-mail. Kurang dari setengah responden mau mengecek legitimasi tautan atau lampiran sebelum memberikan respons atau tindakan terhadap e-mail yang diterima.
Dengan memahami apa itu oversharing, diharapkan warganet menjadi lebih bijak saat menggunakan media sosial. Hal tersebut demi meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan.